Isu LCS dalam KTT ASEAN ke-47

Isu LCS dalam KTT ASEAN ke-47

Oleh: Hasrul Sani Siregar, MA

SALAH satu isu dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN ke-47 yang akan berlangsung di Kualalumpur Malaysia pada 26-28 Oktober 2025 ini adalah isu Laut China Selatan (LCS) yang oleh beberapa negara ASEAN masih berkonflik wilayah laut dengan Tiongkok. Selain isu LCS juga akan membicarakan masalah konflik di Myanmar dan juga penandatanganan perjanjian damai antara Kamboja dan Thailand yang sesuai jadwal akan dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. KTT ASEAN ke-47 ini juga akan dihadiri oleh para pemimpin dari beberapa negara seperti dari Eropa, Jepang, Timur Tengah, Australia, Selandia baru, Afrika Selatan serta Presiden Putin dari Rusia akan hadir. Kehadiran para pemimpin dunia dalam KTT ASEAN ke-47 di Kualalumpur, Malaysia juga sebagai puncak dari keketuaan Malaysia sebagai ketua ASEAN tahun 2025 yang segera akan digantikan oleh Filipina di tahun 2026 sebagai ketua ASEAN.

Isu LCS masih akan menjadi isu utama dalam KTT ASEAN ke-47 di Kualalumpur Malaysia. ASEAN sebagai kelompok kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara memiliki kepentingan dalam penyelesaian konflik di LCS. Beberapa bulan terakhir telah terjadi insiden tabrakan kapal pengangkut pasokan milik Filipina yang bertabrakan dengan sebuah kapal penjaga pantai China di dekat kepulauan Spratly yang dipersengketakan oleh kedua negara. Tabrakan ini telah memicu ketegangan diantara kedua negara yang mengklaim sebagian wilayah di LCS sebagai miliknya. China mengklaim hampir seluruh wilayah di perairan LCS sebagai miliknya dan mengeyampingkan klaim-klaim dari negara-negara ASEAN yang terlibat di dalamnya.

Dalam beberapa waktu yang lalu, konflik-konflik berskala kecil yang melibatkan dua negara yang mengklaim atas kepemilikan di LCS telah terjadi. China dan Filipina sempat bentrok walaupun dengan skala kecil yang menyangkut perbatasan di LCS. Walau sempat bentrok diantara kedua negara tersebut, namun tidak sempat menimbulkan perang terbuka. Dan ini merupakan ketegangan terbaru semenjak Filipina memenangkan sengketa dengan China di LCS. Pada tahun 2013 lalu, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China di LCS kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Mahkamah Arbitrase UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Perserikatan Bangsa-bangsa (UN) menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di LCS, namun pemerintah China tidak menerima keputusan arbitrase tersebut.

Jalan perundingan dengan mentaati dan menghormati komitmen-komitmen dalam Deklarasi berperilaku di kawasan Laut China Selatan (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) harus tetap dijaga. Deklarasi berperilaku di kawasan Laut China Selatan telah disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN dan China pada 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Deklarasi tersebut harus tetap terjaga dan ditaati oleh semua pihak yang bertikai secara penuh dan efektif. Masalah-masalah yang timbul hendaknya dapat diselesaikan dengan mekanisme yang telah disepakati sesuai dengan Code of Conduct tersebut. Intinya bahwa setiap negara yang memiliki sengketa di wilayah Laut China Selatan untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum Internasional dan mengedepankan meja perundingan serta menghindari konflik militer. Walaupun Indonesia tidak mengklaim untuk seluruh dan sebagian wilayah di LCS, namun Indonesia secara terus menerus berupaya untuk memberikan kontribusi dalam hal meredakan ketegangan di LCS.

Keterlibatan ASEAN sebagai forum regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik dalam masalah konflik di LCS adalah dalam bentuk Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum). Dalam Forum Regional ASEAN, selain negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, juga melibatkan mitra wicara ASEAN seperti Rusia, Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Jepang dan Uni Eropa. Konflik di LCS yang melibatkan beberapa negara anggota ASEAN dengan China tentunya menjadikan Forum Regional ASEAN sangat penting dalam upaya penyelesaiannya melalui meja perundingan. ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh negara-negara anggota ASEAN pada 25 Juli 1994 di Bangkok, Thailand sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik dan keamanan di kawasan khususnya Asia Tenggara dan Asia Pasifik serta membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta forum regional ASEAN sebagai upaya memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara. Forum ini merupakan konsep keamanan menyeluruh yang tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan saja, juga menyangkut aspek politik, ekonomi dan sosial-budaya.

Semenjak berdiri, Forum Regional ASEAN telah mengalami suatu proses pembentukan forum kesepakatan yang salah satunya bertujuan dalam hal pengembangan diplomasi pencegahan, pendekatan untuk pencegahan konflik serta peningkatan kepercayaan antar negara-negara yang tergabung dalam forum ARF tersebut. Isu masalah sengketa di LCS menjadi isu utama. China yang merasa memiliki kepentingan terhadap kawasan di LCS akhirnya juga sepakat untuk terus mengadakan dialog dan mencegah konflik terbuka sesama negara-negara yang mengakui sebagian atau seluruhnya. Deklarasi berperilaku di kawasan Laut Cina Selatan (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) akan terus menjadi panduan bagi negera-negara yang terlibat secara langsung di LCS. Filipina yang akan menjadi Ketua ASEAN tahun 2026 memiliki kontribusi yang besar untuk dapat menyelesaikan konflik di Laut China Selatan (LCS) tersebut yang Filipina juga memiliki sengketa di Laut China Selatan (LCS) dengan Tiongkok.***

(Hasrul Sani Siregar, MA. Penulis: Alumni Hubungan Antarabangsa, IKMAS, UKM, Bangi, Selangor, Malaysia/Widyaiswara di BPSDM Provinsi Riau).

#Opini Hasrul Sani Siregar

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index