PEKANBARU, AmiraRiau.com - Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) masih terus bergulir. Riau sendiri mendapat kebagian kuota seluas 10.800 ha untuk tahun 2025 ini.
Satu hektarenya sudah disiapkan bantuan dana hibah sebesar Rp 60 juta. Artinya, untuk program PSR sudah tersedia untuk Riau sebesar Rp 648 miliar.
Namun realiasasi untuk mencapai target tersebut masih terseok-seok, terutama untuk petani sawit swadaya.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua DPD-I Perkumpulan Petani Sawit Bumi Bertuah (PPSBB) Provinsi Riau, Kasri Jumiat.
Menurutnya, dari hasil kunjungannya ke sejumlah petani sawit swadaya di Riau, ada beberapa kendala yang ditemukan.
Di antaranya, mayoritas petani swadaya belum terwadah dalam kelompok tani atau koperasi. Selain itu, sawit-sawit mereka juga banyak berada dalam kawasan, atau belum didukung legalitas yang sah.
"Sementara syarat PSR, di antaranya petani wajib berkelompok dan sawitnya harus di lahan putih. Maka dari itu, kita masih pesimis, capaian target bisa optimal," katanya saat berbincang bersama wartawan, Rabu (30/7/2025).
Selain itu, sambungnya, ketika PSR dilaksanakan, maka kebun masyarakat pasti dilakukan penumbangan, penanaman ulang sampai 4 tahun kemudian baru produksi.
Persoalannya, selama 4 tahun itu, otomatis petani tanpa penghasilan dari sawitnya.
"Kondisi ini yang masih menjadi pertimbangan para petani mau ikut program PSR. Karena khawatir tak punya penghasilan selama 4 tahun tersebut, sementara mereka harus tetap memenuhi kebutuhan hari-hari," kata Kasri.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah membuat kebijakan khusus dalam rangka mengurai kendala-kendala teknis tersebut, agar capaian target PSR bisa optimal.
"Sekarang perlu dipikirkan oleh pemerintah, bagaimana syaratnya bisa lebih dipermudah, dan ada kebijakan khusus mengatasi persoalan keuangan petani selama Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)," bebernya.
Sepanjang itu belum ada solusi, kata Kasri, maka target PSR akan terus terseok-seok dan tidak tepat sasaran.
"Bisa saja yang jalan sekarang, hanya di kebun-kebun plasma atau bekas plasma. Karena mengurusnya lebih mudah dan petaninya relatif sudah mapan," kata Kasri.
Lebih lanjut diungkapkan, dalam menjalankan program PSR ini, terlibat lintas kementrian, masing-masing Kementrian Pertanian, Kementrian ATR/BPN, Kementrian Kehutanan dan Kementrian Keuangan.
Maka sebaiknya, lintas kementrian ini membuat kesepakatan bersama, merumuskan agar PSR ini bisa dipercepat. Sehingga diujungnya nanti, PSR tidak lagi voluntary (sukarela), tapi mandatory (kewajiban).
"Sepanjang sifatnya masih sukarela, maka realisasi PSR pasti akan terus terseok-seok. Untuk itu perlu kebijakan khusus lintas kementrian, agar proses bisa lebih mudah dan peserta PSR selama TBM ada solusi," tandasnya.***
Penulis: M.Wan