Warga Sungai Raya Desak ATR/BPN Tegas: Minta HGU Tanah Terlantar Dicabut, Petani Harus Dilindungi

Warga Sungai Raya Desak ATR/BPN Tegas: Minta HGU Tanah Terlantar Dicabut, Petani Harus Dilindungi
Muhammad Ridwan

INHU, AmiraRiau.com- Konflik agraria yang melibatkan petani Sungai Raya dan Sekip Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, kembali mengemuka. Warga mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera mengambil sikap tegas dalam penyelesaian sengketa lahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Sejak 1994, petani di 2 desa tersebut telah mengelola lahan secara produktif dan damai. Penggunaan lahan itu didukung oleh Surat Keterangan Tanah (SKT) dari pemerintah desa, dan menjadi sumber utama penghidupan warga. Sesuai Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), setiap warga negara berhak memperoleh hak atas tanah secara setara.

Namun ironis, tanah yang dikelola petani justru diklaim oleh perusahaan. Pada 2000, pemerintah menerbitkan SK pelepasan kawasan hutan untuk PT Alam Sari Lestari (ASL), yang kemudian mendapat HGU No. 1/2007. Tapi sertifikat itu tidak mencantumkan nama Desa Sungai Raya dan Sekip Hilir. Justru, pada tahun 2012, Kementerian ATR/BPN sendiri melalui surat resmi menegaskan bahwa HGU PT ASL tidak mencakup Desa Sungai Raya.

“Ini bukan hanya sengketa data. Ini soal keberpihakan. ATR/BPN harus berpihak kepada masyarakat, bukan membiarkan warga di kriminalisasi di atas tanah yang mereka garap sendiri,” ujar Muhammad Ridwan (Aktivis Agraria) yang mendampingi perjuangan pentani Sungai Raya.

Lebih lanjut, Kanwil BPN Riau sejak 2012 telah mengeluarkan surat peringatan atas indikasi tanah terlantar. Bahkan pada 10 Juni 2013, melalui surat resmi, dinyatakan bahwa lahan PT ASL masuk dalam kategori tanah terlantar. Berdasarkan PP 20 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UUPA, tanah yang tidak diusahakan selama dua tahun wajib ditertibkan dan dapat dicabut haknya.

Namun, alih-alih mencabut HGU dan mendistribusikan tanah kepada masyarakat, Negara justru melelang lahan tersebut pasca kepailitan PT ASL. HGU lalu dimenangkan oleh PT Sinar Belilas Perkasa (SBP), yang kemudian melaporkan warga ke polisi atas tuduhan penyerobotan dan pemalsuan.

“Kami heran, bagaimana mungkin tanah yang telah dinyatakan terlantar bisa dilelang tanpa penyelesaian hak masyarakat?” ujar Syahdam perwakilan masyarakat Sungai Raya.

Masyarakat menegaskan bahwa negara semestinya hadir melindungi hak rakyat, bukan justru memfasilitasi perampasan tanah rakyat dan melakukan tindakan kriminalisasi. 

Dalam tuntutannya, mereka meminta Presiden Republik Indonesia dan Kementerian ATR/BPN untuk:

1. ATR/BPN mencabut HGU PT ASL/PT SBP karena status tanah telah jelas sebagai tanah terlantar;
2. Audit menyeluruh atas legalitas dan batas HGU, melibatkan masyarakat dan transparan secara public;
3. Mengakui dan melindungi hak masyarakat atas lahan melalui SKT dan bukti penguasaan turun-temurun;
4. Kementerian ATR/BPN tidak bersikap pasif, melainkan menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan konflik agraria secara adil;
5. Menyelesaikan konflik melalui mekanisme keadilan agrarian dengan mengedepankan kepentingan rakyat;

“Negara tidak boleh tunduk pada korporasi. Cabut HGU yang terbukti terlantar dan tanah harus dikembalikan kepada rakyat,” tegas Ridwan.

Konflik ini menjadi cermin bahwa tanpa keberpihakan nyata dari lembaga negara, khususnya ATR/BPN, cita-cita reforma agraria hanya akan menjadi slogan kosong. Kini, rakyat menunggu keberanian negara untuk bertindak adil.***

Penulis: YD

#Berita Inhu

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index