Oleh: Dr. Mardianto Manan
ISU dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses pengangkatan Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) benar-benar mencoreng wajah birokrasi daerah. Kabar bahwa sejumlah calon PPPK diminta menyetorkan uang sebesar Rp1,5 juta untuk memperoleh Surat Perintah Melaksanakan Tugas (SPMT) telah mengguncang kepercayaan publik.
Apabila informasi ini benar adanya, maka praktik tersebut bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi juga bentuk penyimpangan hukum dan moral. Bagaimana mungkin proses pengangkatan aparatur yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat justru diawali dengan transaksi uang? Padahal PPPK dihadirkan pemerintah sebagai langkah menuju birokrasi profesional dan bersih dari praktik jual beli jabatan.
Pelanggaran Prinsip Birokrasi Rasional
Dalam teori klasik birokrasi yang dikemukakan Max Weber, birokrasi ideal seharusnya berjalan berdasarkan prinsip rasional-legal — di mana keputusan dan tindakan aparatur didasarkan pada aturan tertulis, merit, dan kompetensi, bukan pada hubungan pribadi, uang, atau tekanan politik.
Jika benar ada pungutan dalam penerbitan SPMT, berarti mekanisme rasional-legal telah digantikan oleh logika transaksional. Dalam konteks ini, jabatan publik tidak lagi dilihat sebagai amanah untuk melayani, tetapi sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Kondisi seperti ini berbahaya karena menciptakan birokrasi yang koruptif, sulit diawasi, dan menurunkan kualitas pelayanan publik.
Pelayanan Publik: Dari Warga untuk Warga
Konsep New Public Service (NPS) yang diperkenalkan oleh Denhardt & Denhardt (2003) menekankan bahwa birokrasi seharusnya “melayani warga, bukan pelanggan”. Artinya, warga bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek yang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang adil, transparan, dan bebas pungli.
Ketika calon PPPK merasa takut dan terpaksa mengikuti praktik yang tidak transparan, itu menandakan kegagalan pemerintah daerah dalam menciptakan iklim pelayanan publik yang aman dan akuntabel. Pemerintah seharusnya hadir memberikan perlindungan, bukan menimbulkan rasa takut.
Membangun Pemerintahan yang Bersih
Konsep Good Governance yang digaungkan oleh UNDP menegaskan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik harus mengandung unsur transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, dan keadilan. Dalam konteks Kuansing, pemerintah daerah perlu menunjukkan komitmen terhadap prinsip ini dengan membuka kanal pengaduan terbuka bagi masyarakat, memperkuat fungsi pengawasan internal (Inspektorat), dan berani menindak oknum tanpa pandang bulu.
Selain itu, semangat Clean Government juga harus diwujudkan secara nyata. Pemerintah daerah tidak cukup hanya menyatakan bahwa tidak ada pungutan; perlu ada sistem pengawasan dan evaluasi yang membuat pungli tidak mungkin dilakukan. Integritas birokrasi bukan hanya soal aturan, tapi juga soal keteladanan pimpinan daerah.
Kembalikan Kepercayaan Publik
Kepala BKPP Kuansing, Drs. Muradi, M.Si, telah menegaskan tidak ada pungutan dalam proses penerbitan SPMT. Namun, pernyataan klarifikasi saja tidak cukup. Pemerintah daerah harus aktif memeriksa dan mengonfirmasi laporan masyarakat, agar tidak menimbulkan fitnah yang lebih luas. Bila benar ada pungutan, maka tindakan hukum perlu ditegakkan demi memulihkan kepercayaan publik.
Kita tidak ingin generasi baru PPPK Kuansing memulai pengabdiannya dengan rasa takut dan kekecewaan. PPPK seharusnya menjadi simbol meritokrasi dan integritas, bukan simbol transaksi. Reformasi birokrasi tidak akan pernah berhasil jika praktik-praktik seperti ini terus dibiarkan.
Sudah saatnya Kuansing membuktikan diri sebagai daerah yang berani menegakkan pemerintahan bersih dan birokrasi melayani, bukan sekadar menegaskan retorika.***
(Oleh: Dr. Mardianto Manan. Penulis; Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Pemerhati Kebijakan Publik).