Oleh: MUHAMMAD HERWAN
PRESIDEN Prabowo diawal pemerintahannya menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Tahun Anggaran 2025. Melalui Inpres ini, pemerintah menginstruksikan berbagai pejabat pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran, terutama pada belanja non-prioritas seperti belanja seremonial, studi banding, dan perjalanan dinas, serta pembatasan belanja honorarium dan kegiatan pendukung yang tidak memiliki output terukur. Kebijakan yang juga menyasar ke daerah ini ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan R.I Sri Mulyani dengan menerbitkan PMK Nomor 56 Tahun 2025 pada bulan Juli 2025 dan mulai berlaku per Agustus 2025 yang didalamnya mengatur tentang penyesuaian dan pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD), meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Insentif Fiskal.
Menurut Sri Mulyani kebijakan efisiensi anggaran merupakan bagian dari strategi konsolidasi dan reformasi fiskal nasional. Kebijakan ini menjadi krusial dan berdampak langsung pada ruang fiskal daerah yang selama ini sangat bergantung pada TKD, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), mengingat lebih dari 60% APBD di Indonesia masih bersumber dari TKD. Dalam konteks desentralisasi fiskal, penurunan TKD menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan program pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Pengurangan TKD akan menyebabkan berbagai permasalahan di daerah, antara lain pertama, terganggunya kapasitas belanja daerah terutama pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Kedua, ruang fiskal daerah menjadi semakin sempit, khususnya bagi daerah dengan ketergantungan tinggi terhadap TKD. Ketiga, risiko penurunan kualitas pelayanan publik dan meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah. Keempat, minimnya upaya daerah untuk menggali potensi PAD secara optimal. Kelima, risiko turunnya daya saing dan investasi, ketidak mampuan daerah membiayai infrastruktur dan layanan publik akan menurunkan daya tarik investasi di daerah.
Jika ditilik dari perspektif positif dan negatif, dampak positif pengurangan TKD antara lain akan mendorong efisiensi belanja dan tata kelola anggaran, memicu inovasi pembiayaan dan kemandirian fiskal, meningkatkan selektivitas dalam penetapan prioritas pembangunan. Efisiensi anggaran pada hakikatnya merupakan satu di antara prinsip dasar pengelolaan keuangan negara. Sejatinya, setiap rupiah yang dibelanjakan dengan biaya seminal mungkin harus memberi manfaat maksimal kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan dampak negatif, antara lain mengurangi kemampuan pembiayaan layanan dasar masyarakat, menurunkan daya dorong fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan ketimpangan fiskal antar wilayah (horizontal imbalance), menurunkan responsivitas daerah terhadap kepentingan lokal, daerah menjadi kurang fleksibel dalam Menyusun program berdasarkan kebutuhan spesifik masyarakatnya (membatasi kreativitas dan inovasi kebijakan daerah).
Tersebab itu, agar pemda mampu beradaptasi terhadap pengurangan TKD dan memperkuat ruang fiskalnya, diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
1. Peningkatan Kapasitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bertanggungjawab, dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah (namun tentunya dengan prinsip tidak memberatkan dan memeras rakyat serta tidak menjadikan ekonomi biaya tinggi / high cost economy), digitalisasi sistem pemungutan pajak dan retribusi (layanan cepat, tepat dan cermat), peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan pengelola PAD. Dalam konteks ini, Pemerintah harus memberikan insentif dan pendampingan kepada daerah untuk mengembangkan PAD secara legal dan adil, tanpa membebani masyarakat secara berlebihan.
2. Efisiensi dan Re-prioritisasi Belanja Daerah, fokus pada belanja yang memiliki multiplier effect tinggi, evaluasi dan pengurangan belanja tidak produktif, penerapan prinsip Value for Money (VfM) dalam perencanaan anggaran.
3. Inovasi Pembiayaan Daerah, mendorong Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU / Public Private Partnership), mengakses sumber pembiayaan alternatif (pinjaman daerah, obligasi daerah), pemanfaatan aset daerah secara optimal untuk pendapatan.
4. Penguatan Tata Kelola, Transparansi dan Akuntabilitas, implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja secara taat asas (konsisten), penguatan partisipasi publik dalam pengawasan anggaran, penggunaan teknologi digital untuk open government dan akuntabilitas publik.
5. Kolaborasi Antar Daerah, membentuk kerjasama antar daerah dalam penyediaan layanan publik dan pengembangan ekonomi wilayah yang sekaligus akan meningkatkan daya saing ekonomi daerah melalui penguatan potensi unggulan lokal (klasterisasi ekonomi). Perlu menjadi perhatian serius bagi daerah, bahwa pemangkasan TKD adalah sinyal penting dan momentum bagi pemerintah daerah untuk melakukan introspeksi secara menyeluruh dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Saatnya daerah lebih fokus (Refocusing Prioritas Pembangunan) merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang benar-benar bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Daerah patut membenahi kualitas pelayanan publik, menghilangkan anggaran seremonial dan tidak produktif serta tidak bersentuhan langsung pada kepentingan rakyat.
Efisiensi (pemangkasan TKD) mengingatkan daerah untuk segera bertransformasi dari ketergantungan fiskal menuju kemandirian fiskal. Karenanya diperlukan langkah strategis dan berkelanjutan untuk memperluas ruang fiskal daerah, baik dari sisi pendapatan, efisiensi belanja, maupun inovasi pembiayaan. Pemerintah daerah patut mendorong pemanfaatan potensi ekonomi lokal seperti pariwisata, UMKM, hasil bumi serta pemanfaatan asset daerah. Khusus bagi daerah yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam dan mendapatkan DBH SDA, suatu kenicayaan untuk segera mulai membuat skema Dana Abadi (Trust Fund). Selain itu Pemerintah Daerah harus melakukan reformasi paradigma perencanaan pembangunan yang cost centre menjadi profit centre, mekanisme perencanaan pembangunan bukan hanya input, process dan berhenti di output. Kegiatan pembangunan harus memberikan outcome serta berlanjut memberikan impact, benefit dan value added, sehingga kedepan setiap program pembangunan yang dibuat tidak akan menjadi beban APBD bahkan sebaliknya dapat menjadi sumber penerimaan anggaran. Dengan penguatan kapasitas fiskal ini, daerah dapat tetap menjalankan fungsi-fungsi layanan publik dan pembangunan ekonomi secara efektif, adil, dan berkelanjutan.
Adapun untuk Pemerintah Pusat, jika pemangkasan TKD dalam perpektif otonomi, tidak dikaji secara komprehensif, tentunya hal ini mengancam esensi otonomi daerah dan dapat menghambat pemenuhan kepentingan publik di tingkat lokal. Desain TKD haruslah lebih adil dan prediktif, TKD harus didistribusikan berdasarkan kebutuhan riil dan kapasitas fiskal daerah, serta dijaga stabulitasnya agar tidak fluktuatif. Pun demikian, dalam melakukan pemangkasan TKD khususnya komponen DBH SDA (Migas dan Kelapa Sawit), Pemerintah Pusat wajib memperhatikan dan menjalankan mandatori Undang Undang, tak bisa semena-mena mengurangi proporsi hak daerah.
Disamping itu, Negara perlu memastikan bahwa kebijakan fiskal nasional tetap harus selaras dengan prinsip otonomi (desentralisasi dan keadilan fiskal), kecuali jika memang kembali ke sistem sentralistik. Apabila pemangkasan TKD tidak diikuti dengan alternatif fiskal atau kompensasi kebijakan, maka berpotensi mengganggu prinsip otonomi daerah dan bertentangan dengan semangat desentralisasi.***
Muhammad Herwan, Penulis:
1. Pemerhati Kebijakan Publik.
2. Presidium KAMI Provinsi Riau.
3. Fungsionaris DPP Forum Tanah Air.
4. Wakil Ketua Umum FKPMR (Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau).
5. Wakil Sekretaris Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Provinsi Riau.