Oleh Chaidir
VIDEO tentang kemiskinan ekstrim, dan segala tingkah polah masyarakat yang berkaitan dengan kemiskinan, banyak diunggah di media sosial akhir-akhir ini. Video tentang susahnya mencari sesuap nasi, video keluarga miskin, video tentang anak yang bernasib malang akibat kemiskinan ekstrim orangtuanya, banyak di-share media sosial.
Beberapa hari lalu, Gubernur Riau pada masanya, Brigjen TNI AD (Pur) Edy Natar Nasution, mengirim sebuah video yang sangat menyentuh hati. Dalam video, nenek Papua yang kurus kering (patut diduga karena kurang makan berkepanjangan), menukar segenggam cabe rawit dengan sepiring nasi pada warga. Sang nenek makan dengan lahap sampai habis, tapi ikan goreng tidak dimakan, katanya untuk dibawa pulang buat cucunya.
- Baca Juga KISS ME
Kemiskinan ekstrim dengan berbagai kisah seperti yang dialami nenek Papua itu, sudah menjadi bagian dari wajah kemiskinan negeri ini. Video nenek Papua itu hanya sebuah puncak gunung es dari ribuan gubung es kemiskinan di negeri ini. Dalam “iceberg theory” (teori gunung es, yang mengapung di Samudera Atlantik sana), puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan laut, hanya satu per enam bagian, sisanya 5/6 bagian tenggelam di bawah permukaan laut, tak terbaca.
Begitulah potret kemiskinan di negeri kita; banyak kisah kemiskinan yang terekam video warga dan diviralkan oleh netizen, tapi lebih banyak lagi yang tak terekam video; tak tercatat, tak terdata, tak ada informasi, entah sejak kapan, kelam. Brigjen TNI AD (Pur) Edy Natar Nasution menulis narasi menyentak, “Mereka tidur di atas gunung emas bernama freeport".. dimana tanggung jawab pemerintah pada rakyatnya.. Jadi apakah Indonesia sudah merdeka ?? Ooh malangnya nasib rakyat Indonesiaku ini..” ratapnya.
Maksudnya tentu, nenek Papua itu beserta warga lain yang kelaparan ekstrim di Papua, mereka berada di atas gunung emas yang ditambang oleh Freeport, sungguh-sungguh berada di atas gunung emas, karena menurut beberapa kajian geologi, perut bumi Papua memang kaya bahan tambang emas, seperti perut bumi Riau yang kaya akan bahan tambang minyak bumi.
Maka persis seperti pepatah, nenek Papua itu beserta warga lain yang kelaparan ekstrim di Papua, tak ubahnya ibarat “induk ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan”. Pepatah itu juga sering dilantunkan masyarakat Riau untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap penambangan minyak bumi di Riau yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Riau. Jadi, pertanyaan Gubernur Riau pada masanya, Brigjen TNI (Pur) Edy Natar Nasution itu, “...dimana tanggung jawab pemerintah pada rakyatnya...apakah Indonesia sudah merdeka ??” adalah juga pertanyaan yang sering dikumandangkan di bumi Lancang Kuning Riau.
Minyak dari perut bumi Riau yang disedot selama seratus tahun oleh Caltex dan kemudian berganti nama menjadi Chevron (sejak 9 Agustus 2021 dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan, perusahaan BUMN Pertamina), mencapai belasan milyar barrel. Pada tahun 1990-an produksi minyak mentah dari Riau mencapai satu juta barrel perhari. Semua hasil minyak Riau merupakan pendapatan negara, tak memberi pengaruh pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kini produksi sumur minyak di perut bumi Riau itu, tak sampai lagi 200 ribu barrel perhari. Tahun 2026 yang akan datang, DBH migas yang menjadi bagian Riau akan dipangkas pula sekitar 50 persen.
Industri kehutanan yang mengolah hutan Riau dan perusahaan perkebunan yang semuanya melibatkan korporasi besar, alokasi lahannya menjadi kebijakan pusat, tersentralisasi. Minimnya empati korporasi besar perminyakan, kehutanan, dan perkebunan terhadap masyarakat tempatan, kurang mendapat perhatian dari pemerintah sebagai lembaga pengawas. Pusat mustahil tidak tahu tentang praktik-praktik yang merugikan masyarakat lokal, tapi pusat bak bidal kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Apa yang diperlukan oleh nenek Papua itu beserta warga lain yang kelaparan ekstrim baik di Papua maupun di daerah-daerah lain termasuk di Riau? Secara realistis, mereka memerlukan penghasilan tetap berupa gaji/upah untuk beli beras, lahan untuk bercocok tanam, usaha kecil-kecilan, atau UMKM, jaminan dana sosial, dan juga gubuk tempat tinggal.
Pemerintah yang mewakili negara harus mampu memfasilitasi kebutuhan orang-orang miskin tersebut dan memberi perlindungan. Ingat, pemerintah itu mewakili negara untuk melindungi hak rakyat sebagai pemilik negara. Caranya, pemerintah harus duduk dalam satu meja kecil bersama top level kepemimpinan korporasi dan 2-3 orang akademisi yang paham. Duduk bersama untuk merumuskan apa yang harus dipebuat nenek Papua itu beserta warga lain yang kelaparan ekstrim baik di Papua maupun di daerah-daerah lain termasuk di Riau. Saratnya dalam pertemuan kecil tersebut harus saling menghormati, saling menghargai, saling mendengarkan. Pemerintah harus menghilangkan egonya. Korporasi pasti mau bersinergi dan berkolaborasi menunjukkan simpati. Pemerintah tak perlu memandai-mandai buat program sendiri.
Pesan dari video Nenek Papua, menjadi iktibar bagi bangsa kita. Ke depan, tak boleh lagi ada orang yang tidak makan karena miskin. Kita semua bersaudara, pemerintah, pemerintah daerah, anggota parlemen, korporasi, nenek Papua itu, semua bersaudara. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, hati gajah sama dilapah hati tungau sama dicecah. Kitorang basodara, iya kan Nek?***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).