Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*
SETIAP zaman melahirkan tantangannya sendiri. Namun, dalam pandangan Islam, sumber kerusakan sejati bukanlah pada perubahan zaman, melainkan pada penyakit hati manusia yang tak kunjung sembuh. Rasulullah SAW telah memperingatkan tentang tiga sumber kehancuran yang paling berbahaya, bukan bagi dunia luar, tetapi bagi jiwa manusia sendiri.
Beliau bersabda:“Tiga hal yang membinasakan, yaitu kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang mengagumi dirinya sendiri.”
(HR. Thabrani, Abu Nu‘aim, dan lainnya).
Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi cermin tajam yang memantulkan wajah peradaban. Betapa banyak kehancuran, baik pribadi maupun sosial, berawal dari tiga hal ini.
1. Hawa Nafsu yang Diikuti
Hawa nafsu ibarat ombak yang tak pernah tenang. Ia menuntut tanpa henti, ingin menguasai tanpa batas. Ketika manusia tunduk pada nafsunya, ia kehilangan arah dan makna hidup.
Nafsu bukanlah musuh mutlak, ia adalah bagian dari diri manusia, tetapi bila dibiarkan tanpa kendali, ia menjadi sumber gelap yang menelan nurani.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”
(QS. Al-Jatsiyah: 23).
Mengikuti hawa nafsu berarti menukar kendali ilahi dengan dorongan sesaat. Ia membuat manusia lupa tujuan hidupnya, bukan untuk memuaskan diri, melainkan untuk mengabdi kepada Allah. Orang yang dikuasai nafsu tak lagi bekerja karena kebaikan, tapi demi gengsi; tak lagi menuntut ilmu karena Allah, tapi demi tepuk tangan. Di situlah kerusakan bermula, sunyi tapi pasti.
2. Kekikiran yang Melampaui Batas
Kikir adalah penyakit hati yang halus namun mematikan. Ia menumbuhkan rasa takut kehilangan dan menumpulkan rasa empati. Padahal, rezeki adalah amanah, bukan milik mutlak.
Orang yang kikir sejatinya miskin, bukan miskin harta, tetapi miskin jiwa. Ia menolak berbagi, padahal Allah menjanjikan kelimpahan bagi yang memberi.
Rasulullah SAW bersabda:“Tak akan berkurang harta karena sedekah.”
(HR. Muslim)
Namun, kekikiran yang ditaati membuat seseorang menutup mata terhadap penderitaan sesama. Dari sinilah muncul kesenjangan, ketidakadilan, dan keruntuhan sosial. Dunia menjadi gersang karena manusia enggan menanam kebaikan.
3. Mengagumi Diri Sendiri (Ujub)
Yang ketiga, dan mungkin paling berbahaya, adalah ujub merasa diri lebih baik, lebih suci, lebih berjasa dari yang lain. Ia seperti racun yang manis: tak terasa, tapi mematikan.
Ketika seseorang kagum pada dirinya sendiri, ia menutup pintu nasihat, menolak kritik, dan lupa bahwa semua kebaikan adalah anugerah Allah.
Iblis terkutuk bukan karena kekurangannya dalam ibadah, tetapi karena ujub dan kesombongan. Ia berkata:"Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah.”
(QS. Al-A‘raf: 12).
Dari rasa kagum pada diri sendiri lahir kesombongan, dan dari kesombongan lahir kehancuran. Sebab orang yang merasa tinggi tak akan pernah mau belajar, dan yang merasa suci tak akan pernah mau bertaubat.
Tiga sumber kerusakan ini: hawa nafsu, kikir, dan ujub adalah musuh yang bersemayam dalam diri kita sendiri. Ia tak bisa ditaklukkan dengan kekerasan, melainkan dengan muraqabah (kesadaran akan pengawasan Allah), zikir (ingat kepada-Nya), dan tazkiyah (penyucian hati).
Bila manusia mampu menundukkan hawa nafsu dengan akal, menaklukkan kekikiran dengan kedermawanan, dan mengganti ujub dengan kerendahan hati, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih damai karena ia telah menaklukkan musuh paling berbahaya, yaitu dirinya sendiri.***
(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Dai, Akademisi, Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik. Berdomisili di Pekanbaru)