Komunikasi Transendental dan Kebijakan Publik

Komunikasi Transendental dan Kebijakan Publik

Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*

Dalam hiruk-pikuk penyusunan kebijakan publik, melalui rapat, data, regulasi, dan bahkan tekanan politik, ada sesuatu yang sering terlupakan, yaitu keheningan batin. Sebuah ruang sunyi di mana manusia berjumpa dengan Tuhannya, menimbang bukan hanya dengan logika, tetapi juga dengan nurani. Di sanalah letak pentingnya komunikasi transendental dalam proses kebijakan publik.

Negara modern sering beroperasi dengan logika rasional-instrumental, yaitu apa yang efisien, terukur, dan berdampak ekonomi. Namun, manusia bukan mesin. Setiap kebijakan publik sejatinya bukan hanya “produk akal”, tapi juga “pantulan hati.”
Al-Qur’an mengingatkan:“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107).

Ayat ini menegaskan bahwa misi profetik manusia, terutama bagi mereka yang diberi amanah publik, yaitu menghadirkan rahmat, bukan sekadar peraturan. Maka komunikasi antara pemimpin dan Tuhan menjadi penting agar keputusan tidak hanya benar secara hukum, tetapi juga bernilai kasih sayang dan kebijaksanaan.

Komunikasi transendental bukanlah konsep mistik yang jauh dari dunia nyata. Ia adalah dialog batin antara manusia dan Tuhan, sebuah kesadaran bahwa setiap ucapan dan kebijakan akan dipertanggungjawabkan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan komunikasi transendental, pejabat publik tidak lagi menimbang kebijakan semata dari opini publik atau tekanan politik, tetapi dari timbangan moral ilahiah. Ia bertanya dalam hati:“Apakah keputusan ini mendekatkan manusia kepada kebaikan atau menjauhkan mereka dari rahmat Allah?”

Dalam filsafat klasik, Plato menyebut bahwa pemimpin sejati adalah “filosof raja”, yang berpikir dengan kebijaksanaan dan berbuat dengan kebenaran. Dalam Islam, kita mengenal istilah ulul albab, yaitu orang-orang yang berpikir dengan hati yang tercerahkan.
Mereka tidak terjebak pada kalkulasi politik, tetapi menghubungkan kebijakan dengan nilai-nilai spiritual, berupa keadilan (‘adl), keseimbangan (mizan), dan kemaslahatan (maslahah).

Kebijakan tanpa nurani adalah kegelapan birokrasi. Tetapi kebijakan yang lahir dari doa, zikir, dan perenungan akan menjadi terang bagi masyarakat.

Bayangkan jika setiap peraturan daerah, rancangan undang-undang, atau keputusan anggaran diawali dengan doa dan kontemplasi, bukan hanya rapat koordinasi.
Bayangkan jika setiap pejabat sebelum menandatangani keputusan berkata dalam hati,“Ya Allah, jangan biarkan aku menzalimi satu pun dari hamba-Mu.” Maka negeri ini akan dipenuhi kebijakan yang berjiwa keadilan dan kesejahteraan, bukan sekadar formalitas belaka.

Komunikasi transendental adalah jembatan antara langit dan bumi. Ia mengingatkan kita bahwa setiap kekuasaan berasal dari Allah, dan setiap keputusan adalah bentuk ibadah jika dilakukan dengan niat yang suci.

Ketika kebijakan publik disinari cahaya spiritual, maka politik menjadi jalan rahmat, hukum menjadi payung kasih sayang, dan birokrasi menjadi ladang ibadah.
Negara bukan lagi sekadar organisasi kekuasaan, melainkan wadah pengabdian kepada Tuhan dan sesama manusia. Hal itu sejalan dengan Firman Allah SWT:"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq: 2–3).***

(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Dai, Akademisi, Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik berdomisili di Pekanbaru)

#Opini Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index