Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*
Ada saat di mana hati manusia menjadi medan pertempuran antara api dan cahaya. Api itu bernama amarah, dan cahaya itu bernama kesabaran. Keduanya lahir dari ruang yang sama, yaitu jiwa manusia, namun membawa arah yang berlawanan. Amarah menggelapkan pandangan, kesabaran menerangi jalan.
Amarah adalah bara kecil yang jika tidak dijaga akan membakar seluruh taman hati. Dalam sekejap, ia menghapus akal sehat, menenggelamkan cinta, dan mengaburkan hikmah. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Lā taghdhab" (Jangan marah)." (HR. Bukhari).
Beliau mengulanginya tiga kali, seolah ingin menegaskan bahwa dari satu kata sederhana itu tersimpan rahasia besar tentang keselamatan jiwa dan kedewasaan spiritual.
Dalam perspektif filsafat jiwa, amarah adalah bentuk kehilangan kendali atas diri. Ia lahir dari ego yang terluka, bukan dari nurani yang tercerahkan. Sementara kesabaran adalah kekuatan untuk menahan diri agar tidak dikuasai oleh gejolak batin.
Sabar bukan berarti pasif atau diam terhadap ketidakadilan, tetapi kemampuan untuk tetap jernih di tengah badai emosi. Ia adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan ruhani. Allah SWT berfirman:"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Ali Imran [3]: 133–134).
Ketika seseorang mampu menahan marah, sesungguhnya ia sedang menyalakan lentera dalam kegelapan. Ia tidak membalas api dengan api, tetapi memadamkannya dengan air kebeningan hati. Di situlah kemuliaan sejati teruji, bukan pada kekuasaan untuk menghukum, tetapi pada kemampuan untuk memaafkan.
Dalam kehidupan sosial dan hukum sekalipun, amarah sering menjadi sumber kerusakan. Ia melahirkan keputusan yang tergesa, ucapan yang melukai, dan tindakan yang menyesatkan. Namun kesabaran memberi ruang bagi pertimbangan yang adil, bagi dialog yang manusiawi, bagi penegakan hukum yang berjiwa.
Rasulullah SAW juga bersabda:"Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, barang siapa ingin hidupnya bercahaya, padamkanlah kegelapan amarah dengan zikir, renungan, dan cinta. Karena sabar bukan sekadar menunda luapan emosi, tetapi menyucikan diri dari belenggu ego. Sejatinya, dalam kesabaran, manusia menemukan Tuhan, sementara dalam amarah, manusia kehilangan dirinya.
(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Dai, Akademisi, Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik berdomisili di Pekanbaru).