Oleh Chaidir
KUDA Troya adalah sebuah legenda dari semenanjung Balkan; sebuah patung kuda terbuat dari kayu, ketika bangsa Yunani berperang melawan bangsa Troya. Peristiwanya terjadi pada pada tahun 1250 Sebelum Masehi. Legenda itu berasal dari kisah nyata Perang Troya (Trojan War). Webster International Encyclopedia (Edisi 1991 halaman 1100) menyebut, kisah bermula ketika putra mahkota Kerajaan Troya jatuh cinta berat pada Helen. Sang putra mahkota mabuk kepayang siang malam terbayang Helen. Sayang disayang, Helen sang impian adalah istri dari Menelaus, seorang pejabat tinggi dari Kota Sparta, Yunani. Singkat cerita, entah bagaimana kejadiannya, Helen yang cantik jelita itu berhasil dilarikan oleh sang Putra Mahkota ke Troya.
Kerajaan Yunani marah alang kepalang, bukan hanya disebabkan kehilangan Helen, tapi mereka merasa dipermalukan. Mereka bersumpah akan menuntut balas sampai tetesan darah penghabisan. Helen harus direbut kembali dan Kerajaan Troya harus dihancurkan. Yunani menyerbu Troya, perang pun pecah. Tapi Kerajaan Troya sudah mempersiapkan diri. Digempur dari segala penjuru oleh balatentara Yunani, namun mereka gagal memasuki Kota Troya. Troya dikepung selama sepuluh tahun, tapi tak ada kemajuan. Ketika hampir putus asa, tentara Yunani menemukan sebuah taktik, mereka berpura-pura mundur dengan meninggalkan sebuah patung kuda raksasa yang terbuat dari kayu di luar tembok Kota Troya. Hebatnya di dalam perut patung bersembunyi tentara Yunani. Melihat tentara Yunani mundur, tanpa perasaan curiga patung tersebut diangkut oleh orang-orang Troya ke dalam kota.
- Baca Juga KODAM Benteng Tujuh Lapis
Dan di malam yang kelam, tentara Yunani yang bersembunyi di perut kuda, diam-diam keluar, mereka membuka gerbang kota sehingga tentara Yunani dalam jumlah besar leluasa memasuki kota. Troya menjadi lautan api dan takluk. Dan sicantik Helen berhasil direbut kembali. Bagaimana dengan nasib patung kuda? Sang patung ditinggalkan menjadi barang rongsokan tak berguna.
Berpuluh abad kemudian, di era modern, tak ada lagi kuda Troya. Tapi modus kuda Troya dalam bentuk konsep siasat tetap banyak digunakan. Riau adalah kuda troya, kuda beban negeri ini. Bermilyar barrel minyak buminya habis ditambang selama lebih dari seabad, kayu di hutan rimba habis ditebang, lahannya yang subur menjadi hamparan kebun kelapa sawit dan hutan tanaman industri, sayangnya, para penambang minyak, pengusaha hutan dan perkebunan itu, semuanya datang dari luar daerah dengan alasan teknologi, modal dan SDM siap pakai. Penduduk lokal Riau bernasib sama dengan rongsokan patung kuda di Troya itu.
Putra asli tempatan yang bekerja di pertambangan migas, boleh dihitung dengan jari. Kontraktor lokal dan vendor hanya kebagian bisnis-bisnis kecil, bisnis besarnya milik pusat. DBH yang menjadi bagian daerah makin lama makin berkurang. Untuk sekedar hiburan bagi Riau, ada skema dana CSR dan community development seadanya. Ladang minyak di Riau terbesar secara nasional tapi kantor pusatnya ada di Jakarta. Presiden Jokowi pernah menjanjikan ada posisi direksi dan komisaris perusahaan minyak tersebut untuk putra asli Riau, tapi itu cuma angin surga, realisasinya nol koma nol besar.
Hutan dan lahan habis dikapling di atas meja departemen atau kementerian, dialokasikan untuk korporasi-korporasi besar. Pemerintah pusat dan korporasi-korporasi besar ini minim keberpihakan dan rasa simpati terhadap penduduk tempatan; buktinya, kebijakan peraturan perundangan yang mengharuskan korporasi tersebut mengalokasikan 20% dari arealnya untuk kebun plasma penduduk lokal, umumnya tak dipatuhi. Kondisi ini baru diketahui setelah korporasi ini menebang hutan dan menggarap lahan selama 25 tahun, dan kemudian ingin memperpanjang izin. Tak ada pengawasan, atau mungkin pembiaran.
Yang terjadi kemudian timbul konflik dimana-mana; korporasi vs penduduk lokal, pemerintah daerah vs penduduk, sekuriti perusahaan vs LSM, dan sebagainya. Konflik Bupati Siak Dr Afni dengan manajemen PT. SSL (Seraya Sumber Lestari) adalah satu contoh rumitnya mencarikan lahan untuk hidup bagi warga tempatan, karena tak ada lagi areal yang tersisa. Perambahan hutan dan lahan hampir terjadi di setiap sudut di Riau selama berpuluh-puluh tahun, tak ada pengawasan, atau mungkin pembiaran. Sekarang baru ditertibkan seperti yang terjadi di TNTN. Korban yang terkena penertiban sebagian kecil penduduk asli tempatan, sebagian besar perambah pendatang. Penertiban ini didukung oleh berbagai pihak, tapi jelas menyembulkan dan menyisakan berbagai kontroversi dan paradoksal.
Nasib tragis dialami tiga anak kemenakan dari Luhak Ujung Bukit (Gema) Kampar Kiri, M. Diah, Afrizal, dan Kidamri; mereka dituduh merambah hutan lindung. Padahal menurut warga dan tokoh adat, lahan yang mereka kelola adalah lahan adat yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tidak pernah ada sosialisasi soal status hutan lindung di wilayah tersebut, apalagi batas-batas resmi yang ditetapkan oleh negara. Tokoh Masyarakat Riau Hj Azlaini Agus tak kuasa membendung air mata ketika mengetahui salah satu dari anak kemenakan itu, yakni M. Diah, bahkan tidak bisa baca tulis, tapi ia dimintai keterangan tanpa pendampingan pengacara; M. Diah lebih dari sebulan ditahan. Ironisnya, di samping lahan warga yang dipermasalahkan, terdapat kebun seluas hampir 200 hektar milik seorang pengusaha, yang tidak dinyatakan sebagai hutan lindung. Warga mempertanyakan keadilan dalam penetapan kawasan tersebut.
“Kami berkebun hanya untuk makan, bukan untuk kaya. Ini tanah adat kami, bukan hutan lindung,” ujar salah seorang warga.
Kisah sedih yang dialami masyarakat tempatan yang diadvokasi oleh Tokoh Masyarakat Hj Azlaini Agus dan Bupati Siak Dr. Afni, hanya satu dari ratusan gunung es dari berbagai permasalahan yang menyangkut nasib masyarakat tempatan yang muncul ke permukaan di Riau, masih banyak lagi yang tenggelam di bawah permukaan, termasuklah masalah ratusan ribu hektar kebun yang disita dan sekarang diberikan ke PT. Agrinas. Riau sudah lama menjadi Kuda Troya. Stop. Ayo bangkit, jangan lagi mau diperkuda.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).