Oleh Erlan Saswadi
SIANG itu gerimis, namun langit seperti sudah memberi isyarat bakal hujan lebat, atau paling tidak, hujan akan awet meskipun tidak selebat yang diperkirakan. Kata orang dulu-dulu, jika sudah begini takkan ada penangkalnya, jadi nikmati saja dan pandang lama-lama.
Tak guna lempar cabe dan garam ke atas atap, karena musimnya musim hujan. Alam jangan dilawan, tapi diajak berkawan sambil terus berdoa kata orang tua-tua dulu.
Kalau hari-hari seperti musim hujan begini, tak ada yang akan bepergian jauh jika tidak benar-benar terpaksa. Itu artinya, ada kesempatan untuk malas-malasan di rumah sambil menikmati secangkir kopi yang sudah disiapkan sebelumnya.
Pada meja makan, ada aroma khas. Aroma itu sangat familiar, terutama bagi anak-anak di setiap daerah Bengkulu Selatan khususnya dan Bengkulu pada umumnya.
Dengan tampilan luar daun pisang yang sedikit gosong, pastilah itu Pendap! Tak salah lagi.
Ku dekatkan sedikit, sambil menghirup semakin dalam sambil terpejam. Aroma itu bukan saja memastikan tebakanku benar, tapi juga mampu memancing kenangan lama yang terus bermain di kepala.
Jika tak salah, sekitar 30 tahun lalu, Pendap sudah sangat kami sukai. Mak rajin ke kebun kopi di Seginim, paling tidak, sebulan sekali pada hari Sabtu dan Minggu baru kembali ke rumah di Kota Manna, Ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan. Menggunakan sepeda motor, jarak tempuh ke kebun paling memakan waktu 1 jam.
Mak akan bersiap-siap untuk bermalam di pondok kebunnya. Kenapa Sabtu? Karena Abah libur dan tidak dinas sebagai Anggota TNI di Kodim 0408 Bengkulu Selatan. Minggu sore, baru kembali ke rumah di Manna dengan membawa beberapa kilo biji kopi yang masih berkulit merah.
Salah satu persediaan yang Mak bawa adakalanya Pendap. Dijamin takkan basi dalam waktu yang cukup lama, tak hanya sehari dua, seminggu juga masih aman. Maklum saja, di kebun kopi kala itu belum ada listrik, jangankan kulkas penerangan saja hanya mengandalkan lampu minyak yang disiapkan Abah dari kaleng bekas botol susu kemudian dipasangi sumbu dan diberi minyak tanah.
Jika Mak bawa pendap, wajah Abah pasti semringah. Seolah sudah terbayang rasanya makan ditemani nasi yang dimasak pakai kayu api yang tersedia melimpah di kebun kopi.
Pendap, Apa Itu?
Apa itu Pendap? Kuliner khas dari Bengkulu yang konon katanya berasal dari daerah pesisir Bengkulu, yaitu Bengkulu Selatan dan Kaur ini, dipercaya sudah ada sejak dulu. Ini merupakan salah satu kearifan lokal agar bekalnya bisa bertahan lama untuk persediaan jika ke sawah atau ladang yang jaraknya jauh dari rumah.
Menurut beberapa sumber, Pendap memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Serawai Provinsi Bengkulu.
Pendap memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Serawai yang banyak bermukim di Bengkulu Selatan, yaitu musyawarah dan mufakat.
Berangkat dari 5 Bahan Pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Serawai. Secara simbolik, IKAN (daging ikan) melambangkan "JEMAU TETUAU" (para pemimpin suku adat), NIUGH (kelapa) melambangkan "PESIRAH" (para pemangku pemerintahan atau kaum Intelektual), DAUN KELADI (daun talas) melambangkan "ALIM ULAMA" atau tokoh yang tegas untuk mengajarkan agama syariat, DAUN PISANG melambangkan betapa peran kaum perempuan bagi kehidupan masyarakat Serawai Bengkulu, dan REMPAH (bumbu) melambangkan atau secara keseluruhan Serawai Bengkulu itu sendiri.
Dalam tradisi Serawai Bengkulu, Pendap seharusnya menjadi hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perayaan adat, seperti berbagai upacara adat ditengah suku Serawai, pesta pernikahan (yang kami biasa sebut Bimbang), kenduri, atau penyambutan tamu kehormatan. (Galeri Bengkulu. https://www.facebook.com/groups/475936050213428/posts/785616022578761/)
Selain Pendap, Bengkulu Selatan khususnya masih menyimpan banyak kuliner khas lain yang saat ini tak kalah populer. Sebut saja jenis kue Bai Tat, Anak Tat, Lebuak Kupi atau kopi bubuk, tempuyak (asam durian), ikan dari hasil laut yang melimpah dan sumber daya alam lainnya.
Tapi yang paling unik itu, ya memang Pendap! Tapi jangan liat penampilannya, melainkan isinya. Gurih dan sedikit pedas yang demikian menggugah selera. Mari kita cintai dan kita lestarikan, demi anak cucu nanti!***
(Erlan Saswadi. Penulis: Wartawan AmiraRiau.com. Anak jati Manna, Bengkulu Selatan)