Oleh Chaidir
API tak bisa dipadamkan oleh puisi, tapi puisi bisa membuat burung bersiul lagi. Yes, keren! Ramon Damora, penyair Melayu yang bermastautin di Batam Kepulauan Riau melantunkan frasa itu dalam Konser Kata-Kata “KalaMusika” di Anjung Seni Idrus Tintin, pada 19 Juli 2025 beberapa malam lalu. Tentu saja untaian frasa itu adalah sebuah metafora.
Karena puisi hanya metafora dan tak bisa memadamkan api, maka Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan, yang digadang-gadang unjuk kebolehan cinta sastra dan tampil baca puisi dalam Konser Kata-Kata KalaMusika malam itu bersama Gubernur Riau Abdul Wahid dan Walikota Pekanbaru Agung Nugroho, memilih berangkat ke Rokan Hilir untuk operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan di wilayah itu. Api tak bisa dipadamkan dengan metafora tapi melalui aksi jiwa.
- Baca Juga Ingatan Budi Untuk KAPOLRI
Dan malam itu untaian metafora penyair-penyair kondang Negeri Melayu Riau dan Kepulauan Riau bak ribuan kunang-kunang menghiasi malam kelam sepi bintang. Tak terlihat seekor burung pipit mengangkut air mematikan api yang membakar lahan dan hutan melalui paruhnya yang kecil mungil, seperti ketika burung ini mencoba memadamkan kobaran api di mana Nabi Ibrahim dilemparkan. Jangankan burung pipit, puluhan helikopter yang mengangkut bom air pun seringkali tak efektif, sampai kemudian api baru padam setelah doa bersama dipanjatkan mengharap hujan dari langit. Gambar-gambar ilustrasi hutan yang hancur lebur di belakang penyair juga bukan semata ulah api, tapi ulah keserakahan. Ini bukan konser musikalisasi puisi biasa, ini konser metafora memadamkan keserakahan manusia.
Jangan main-main dengan metafora pujangga. Negeri Melayu Riau dan Kepulauan Riau sejak dulu kala sudah dikenal sebagai negeri yang berperang tidak dengan pedang terhunus, atau senapang terkokang, tapi dengan keberanian dan kepiawaian pujangganya menggunakan kata-kata. Dengan kekuatan sugestif metafora membuat berlaksa pedang yang telah terhunus kembali tersarung. Begitulah kekuatan kata-kata pujangga, kadang tak terduga logika biasa. Maka bila benarlah demikian kekuatan sihir kata-kata pujangga, wajarlah agaknya bila Khalifah Umar bin Khattab menyuruh kita mengajari anak-anak dengan sastra.
Khalifah Umar bin Khattab, demikian konon dikisahkan, pernah memberi nasihat, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani.” Benarkah demikian? Aisyah istri Nabi Muhammad SAW diriwayatkan menyebut secara lebih spesifik, “Ajari anak-anak puisi sejak dini.” Kenapa mesti puisi, bukan ilmu aljabar atau juga geometri? Hipotesisnya: menulis dan membaca puisi berarti menjadikan anak-anak pemberani. Ungkapan itu sangat menarik, valid atau tidak biarlah ulama yang mencari rujukannya. Dalam memori kolektif kita, sastra Arab pada masa itu sering berhubungan dengan semangat kepahlawanan.
Sastrawan seakan memang dilahirkan memiliki keberanian berlebih dalam penggunaan kata-kata. Mereka tak pernah takut salah dalam meramu kata-kata, dan tak pernah merasa khawatir kendati kata-katanya setajam sembilu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Penulis puisi sering disebut penguasa kata-kata, dan dalam wilayah singgasana kekuasaannya itu, menurut Sutardji Calzoum Bachri, sastrawan tak bisa diminta pertanggungjawabannya.
Barangkali karena kebebasan dan keberanian berekspresi mengungkapkan perasaan melalui kata-kata itu, maka sastrawan menjadi seorang pemberani atau dikenal pemberani. Sastrawan memang tak pernah ada beban dalam memanfaatkan kelebihannya mengungkapkan bahasa-bahasa sastra, mereka seakan tak punya saraf takut sama sekali.
Kekuatan “sihir” penyair mengubah zaman, sesungguhnya bukan terletak pada keberhimpunannya, atau pada simbol-simbol seremonial, melainkan pada kekuatan syair atau puisi itu sendiri. Puisi bisa meluruskan kehidupan yang bengkok-bengkok karena ulah politik, begitu Presiden AS John F Kennedy menyebut. Puisi yang memiliki kualitas seperti itu tentulah puisi yang ditulis dengan kedalaman dan ketajaman pedang akal budi.
Sebenarnya semua manusia punya lubuk hati, memiliki suara hati sanubari, tapi tak semua mampu mengekspresikannya secara verbal, baik lisan maupun tulisan. Apatah lagi mengungkapkan dalam rangkaian bahasa metafora berona indah seperti para pujangga itu. Untaian frasanya seringkali mengandung selaksa makna. Karena keluar dari bisikan sanubari terdalam, dipandu akal budi, maka metafora tak pernah bohong.
Keistimewaan itulah yang dimiliki oleh seorang penyair. Maka tak berlebihan bila sastrawan Taufiq Ismail menyebut penyair itu penguasa kata-kata. Melalui puisi-puisi yang dideklamasikan dalam gerak dan teriak serak laksana burung gagak, atau dialunkan sendu berbisik, atau dikemas dalam musikalisasi, seorang penyair mampu merangkai metafora kehidupan secara mengagumkan. Penyair bisa menggelorakan jiwa, membangkitkan patriotisme, membangun semangat perlawanan dan pemberontakan, atau menghadirkan sembilu menyayat pedih menyentuh dawai halus dalam hati. Puisi sufistik Ayatullah Khomaini konon mampu membangkitkan semangat revolusi Iran.
Sebenarnya, penyair-penyair terbilang dari Kepulauan Riau bisa diajak Seniman Serantau Husnizar Hood untuk melayangkan surat-surat kepada Bunda Alam dari Tanjung Pinang. Bukankah Kepulauan Riau tak menghadapi masalah kerusakan lingkungan akibat terbakarnya hutan dan lahan seperti yang sedang melanda Riau? Tapi Husnizar Hood dan kawan-kawan memilih Anjung Seni Idrus Tintin untuk Konser Kata-Kata KalaMusika. Puisi yang dibawa dari Tanjung Pinang takkan memadamkan api, tapi sekurang-kurangnya membuat burung bersiul lagi.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)