Refleksi Hari Jadi ke-68 Prov Riau:

Merawat Tuah Menjaga Marwah

Merawat Tuah Menjaga Marwah

UNGKAPAN Melayu “Merawat Tuah Menjaga Marwah” mudah diucapkan tapi perlu pengkhayatan. Sebab, ungkapan itu bisa dipandang dalam berbagai perspektif; bisa dipandang dalam perspektif pragmatis, bahwa tuah Riau Negeri Melayu itu terletak pada keistimewaan sumber daya alamnya yang berlimpah; bisa dipandang dari sisi geopolitik, bahwa tuah Riau itu terletak pada posisi geografis strategis istimewa karena berada di bibir Selat Melaka, selat teramai di dunia. 

Namun ungkapan “Merawat Tuah Menjaga Marwah”, tema peringatan Hari Jadi ke-68 Provinsi Riau tahun ini, apalagi dirangkai dengan ungkapan legendaris “Tak Melayu Hilang di Bumi”, sepertinya perlu ditengok dan dihayati dari sisi budaya. Sumber daya alam bisa habis, geopolitik bisa berubah, tapi budaya Melayu sebagai nilai, membuat Melayu tak hilang di bumi; Melayu bukan simbol tapi budaya. Melayu boleh tak berada secara simbolistik di pusat kekuasaan di sebuah negeri Melayu misalnya (karena ini proses demokrasi politik), tapi secara substansial nilai-nilai budaya Melayu tetap mewarnai panggung pertunjukan kehidupan. 

Secara sederhana ungkapan “Merawat Tuah Menjaga Marwah” bisa kita maknai, bila tuah dirawat atau dilindungi dengan baik, maka marwah negeri akan terjaga. Sebaliknya bila tuah tak dirawat dan tak dilindungi, maka marwah tak akan terjaga dan tak akan bisa ditegakkan.

Dalam budaya Melayu tuah diartikan sebagai sesuatu keistimewaan atau kesaktian yang dimiliki seseorang atau kaum. Dengan keistimewaan atau kesaktian tersebut, orang atau kaum yang memilikinya dihormati, disegani, memiliki harga diri atau bermarwah. Keistimewaan itulah yang menjadi tuah Melayu, harus dirawat, dilindungi, dipelihara, dipupuk dengan baik.

Beberapa tuah atau keistimewaan bisa kita rasakan sehari-hari. Pertama adalah “adat bersendi sara’, sara’ bersendi kitabullah’. Adat ini disebut “Adat yang Sebenar Adat”, menggambarkan persebatian adat Melayu dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunnah Nabi dan Al-Quran sebagai pedomannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan.

Nilai-nilai adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, menjadi nilai dasar, menjadi tuah negeri Melayu. Inilah yang menjadi norma sosial masyarakat Melayu dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam nilai-nilai tersebut tercermin nilai-nilai integritas, keramah-tamahan, saling menghargai, saling menghormati, keterbukaan, dan sopan santun. Semangat ini terbukti dapat mengakomodasi perbedaan dalam masyarakat Riau yang berbilang kaum.

Tuah atau keistimewaan kedua dalam budaya Melayu adalah menjunjung tinggi adab dan tata krama. Budaya Melayu sangat menekankan kesopanan, tutur kata yang halus, serta hormat kepada yang lebih tua dan hormat kepada pemimpin. Nilai ini menjadikan masyarakat Melayu dikenal ramah, santun, dan menjunjung etika komunikasi dengan menggunakan kata-kata yang santun dan patut dalam pergaulan, demikian pula dalam komunikasi pemerintahan. Tuah komunikasi nasihat Raja Ali Haji sangat dipahami orang Melayu, “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihatlah pada budi bahasa”. (Pasal kelima Gurindam 12 Raja Ali Haji).

Menjunjung tinggi nilai musyawarah dan mufakat juga merupakan tuah atau keistimewaan dalam budaya Melayu. Orang Melayu sangat menghormati, menjunjung tinggi dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui musyawarah dan mufakat tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan, tak ada kusut yang tak bisa diungkai. Siapapun yang menyalahi kesepakatan dianggap melanggar adat dan ia menjadi hina dalam pandangan masyarakatnya. 

Tuah atau keistimewaan lain yang menjadi adat Melayu adalah menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Tunjuk ajar Melayu banyak memuat nilai-nilai yang menjunjung keutamaan dan kemuliaan keadilan dan kebenaran. Bagi orang Melayu, keadilan dan kebenaran adalah kunci utama dalam menegakkan tuah dan marwah, mengangkat harkat dan martabat. Keadilan dan kebenaran tidak dapat ditawar-tawar, karena semuanya adalah acuan mengenai kehidupan, pemerintahan dan sikap hidup orang Melayu. Orang Melayu berani mati untuk membela kebenaran. Orang tua-tua mengatakan, “takut karena salah, berani karena benar.” Orang Melayu tegas bersikap, raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah.

Tuah atau keistmewaan tersebut dituangkan dalam tunjuk ajar Melayu sebagai norma atau acuan dalam kehidupan sehari-hari. Bila tuah tersebut dirawat, dipedomani, dihormati dan dilaksanakan dengan baik, maka masyarakat kita akan bermarwah, bermartabat, memiliki kehormatan dan harga diri. Para pemimpin yang memiliki kehormatan dan harga diri adalah pemimpin yang mampu memberi keteladanan bagaimana merawat tuah nilai-nilai keistimewaan budaya Melayu tersebut. Hal ini tercermin dari sikap dan perilakunya sehari-hari. 

“Merawat Tuah Menjaga Marwah” dalam prakteknya tak mudah. Masalahnya, kapal Lancang Kuning kita sekarang sedang berlayar di tengah badai. Tuah dan marwah Melayu dirongrong oleh berbagai kepentingan dan berbagai masalah. Di era keterbukaan media sekarang, masyarakat kita dengan segala persoalannya ibarat berada dalam akuarium tembus pandang, semua bisa menyaksikan apa yang terjadi. Semua bisa mengurai satu demi satu apa yang terjadi dalam akuarium. Tapi kita tak boleh putus asa; tarik hati-hati rambut dalam tepung supaya rambut tak putus tepung tak berserak. Selamat hari jadi Riau. Kayuh kompak Riau ‘BERDELAU’.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

#Opini drh. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index