Oleh Chaidir
INI kenduri bukan sembarang kenduri. Kenduri yang diselenggarakan oleh Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PaSKI) Riau ini adalah sebuah kenduri istimewa: kenduri tawa. Karena kenduri istimewa, maka menunya pun istimewa. Enak tak enak gulai hidangannya, entah asin atau pedas atau kurang garam, tak masalah, yang penting seisi Anjung Seni Idrus Tintin malam itu bisa menikmati kenduri sepuas-puasnya.
Kenduri dalam makna sesungguhnya adalah sebuah tradisi perjamuan makan atau upacara adat yang umum dilakukan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat Indonesia pada umumnya, bertujuan untuk memperingati peristiwa penting, meminta keberkahan, dan bentuk rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas terkabulnya doa. Dalam masyarakat Melayu kenduri sekaligus merupakan sarana mempererat silaturahim dan membangun harmoni kehidupan.
Namun Kenduri Tawa Riau ini beda, hidangannya adalah pertunjukan seni komedi yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak, kalau ada yang tak tertawa itu karena yang bersangkutan sakit gigi berat, atau penyakit turun berok, atau ada masalah keluarga akibat perdebatan konten di tiktok. Selebihnya, tak ada alasan untuk tidak ketawa menyaksikan perform seniman komedi kebanggaan kita di atas pentas.
Seniman komedi wajar bergembiraria karena sejak tanggal 27 September 2025 tiga hari lalu, eksistensi komedian membumbung tinggi ke langit ketika Menteri Kebudayaan RI (Menbud), Fadli Zon melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 164/M/2025 secara resmi menetapkan tanggal 27 September sebagai Hari Komedi Nasional, untuk memperingati dan menghargai peran komedi sebagai bagian dari kebudayaan dan pembangunan bangsa. Fadli Zon menyampaikan, penetapan Hari Komedi Nasional menandai tonggak penting dalam sejarah seni pertunjukan dan kebudayaan di Indonesia. Sekarang, komedi tak hanya eksis di panggung pertunjukan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukasi, refleksi sosial, dan perekat keberagaman masyarakat. Komedi menjadi bagian dari kebudayaan dan pembangunan bangsa. Luar biasa. Hebat komedi. Perayaan Hari Komedi Nasional ini pun mengambil tema 'Komedi Pemersatu Bangsa'.
Selaras dengan hal tersebut, Agum Gumelar selaku Pembina PaSKI berharap bahwa seluruh komedian dapat menjadikan momen 27 September ini sebagai pemicu semangat untuk terus meningkatkan kemampuan dan kualitas komedi di tanah air. "Saya yakin, dengan semangat ini, kita semua dapat terus berkontribusi dalam membangun bangsa melalui komedi," imbuhnya sebagaimana dikutip berbagai media. Catat Wak, “membangun bangsa melalui komedi”. Opo ora hebat!
Komedi adalah karya atau seni yang lucu dan bertujuan menghibur penonton dengan cara menimbulkan tawa, seringkali melalui berbagai teknik seperti permainan kata, ironi, atau slapstick (komedi fisik). Selain menghibur, komedi juga bisa digunakan untuk menyampaikan kritik sosial atau merefleksikan keadaan masyarakat.
Tertawa akibat ulah komedi ternyata bisa dipakai untuk mengukur tabiat kepemimpinan seseorang. Presiden Amerika ke-16, Abraham Lincoln menggunakan tawa sebagai senjata untuk menghadapi tekanan yang luar biasa selama Perang Saudara Amerika Serikat (1861-1865). Pada rapat kabinet, Lincoln kerap menceritakan sebuah anekdot lucu untuk menghilangkan ketegangan. Presiden Amerika ke-32 Franklin D. Rosevelt senantiasa berusaha tertawa di depan publiknya karena dirasakan bermanfaat bukan saja untuk dirinya, tetapi juga bagi rakyat Amerika yang dipimpinnya yang merasa sejahtera melihat pemimpinnya suka tersenyum dan tertawa. (Andrias Harefa dalam buku Seni Mempengaruhi Orang dengan Tawa Huahahaha, 2009).
Diktator Hitler pun menyukai komedi. Ada catatan sejarah bahwa Hitler menikmati tontonan kabaret, film, dan humor-humor tertentu, selama itu tidak ditujukan untuk mengkritik dirinya atau rezim Nazi. Propaganda Nazi juga menggunakan humor. Rezimnya memanfaatkan kartun, karikatur, dan humor untuk memperolok lawan politik serta kaum Yahudi. Artinya, bahkan diktator pun sadar kekuatan humor sebagai alat komunikasi. Seberat apa pun politik atau kekuasaan, manusia tetap butuh tawa. Fakta bahwa bahkan Hitler bisa tertawa, menunjukkan bahwa komedi menyentuh sisi paling dasar kemanusiaan—meski ironisnya, Hitler tidak mentolerir komedi yang menertawai dirinya.
Prof. Dr. James Danandjaya menyebut, dalam tradisi bangsa Indonesia, hampir semua orang tidak suka bila dikritik secara langsung. Orang cenderung lebih menerima kritikan tidak langsung. Untuk itulah humor politik menjadi media paling sesuai dan efektif. “Di masyarakat kita, kritik tidak langsung itu mempunyai efek yang lebih ampuh daripada yang langsung,” tulis Danandjaya (1999) dalam bukunya “Humor dan Rumor Politik Masa Reformasi.”
Komedi yang menghasilkan tawa bukan sekadar hiburan, melainkan juga energi kebudayaan yang menjaga kewarasan bangsa. Dalam sejarah kita, komedi selalu hadir sebagai obat penawar dari ketegangan hidup, bahkan dari panasnya panggung politik. Mengkomedikan politik adalah cara rakyat mengingatkan penguasa: bahwa kekuasaan, betapapun besar, tetap bisa ditertawakan. Tawa itu bukan penghinaan, melainkan pengingat agar kekuasaan tak disalahgunakan. Justru dalam gurauan, sering terselip kritik paling tajam dan kebenaran yang sulit diucapkan dengan bahasa resmi.
Humor seringkali mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari dengan cara yang lucu, membuat kita bisa menertawakannya. Komedi adalah bahasa nurani: ia menyatukan tanpa menggurui, ia menghibur tanpa melukai. Ayo tertawa, sebelum tertawa itu kena pajak.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)