Posisi ASEAN Terhadap Myanmar

Posisi ASEAN Terhadap Myanmar

Oleh Hasrul Sani Siregar, MA

BARU-baru ini Uni Eropa (UE) tidak akan mengirim pengamat  pemilu di Myanmar yang direncanakan akan dilakukan pada 28 Desember mendatang yang oleh Junta Militer Myanmar dianggap sebagai upaya rekonsiliasi nasional sejak kudeta militer terhadap pemerintahan sipil tahun 2021. Kepala junta militer Myanmar Min Aung Hlaing berharap pemilu akan mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung sejak tahun 2021. Namun nada pesimis oleh berbagai pihak internasional yaitu Perserikatan Bangsa-bangsa dan Amnesty Internasional yang menilai bahwa Junta Militer tidak serius dan hanya melegitimasi kekuasaan militer sejak kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi. ASEAN sendiri mengambil sikap dan posisi untuk terus mengupayakan perdamaian diantara kelompok-kelompok yang berkonflik dengan junta militer Myanmar.

Posisi ASEAN terhadap Myanmar adalah tetap mengupayakan transisi demokrasi di negara tersebut dalam upaya menjaga kestabilan ekonomi-politik regional ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN sangat mendukung adanya transisi demokrasi menuju Pemerintahan yang Demokratis, Rekonsiliasi Nasional dan Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di negara tersebut. Hal yang sangat penting pula bahwa, ASEAN mendukung Myanmar untuk menyelesaikan masalah dalam negerinya sendiri. Myanmar gagal menjadi ketua ASEAN tahun 2026 yang menggantikan Malaysia dan Filipina menjadi Ketua ASEAN tahun 2026 mengingat Myanmar belum dapat menyelesaikan konflik di dalam negerinya.

Malaysia sebagai Ketua ASEAN tahun 2025 ini telah berupaya untuk mendorong langkah diplomasi untuk menghentikan konflik diantara kelompok-kelompok yang bertikai yaitu Junta Militer dan kelompok perlawanan dari etnis minoritas yang ada di Myanmar. Masalah Myanmar bukan saja pada masalah transisi demokrasi, hak asasi manusia dan juga pemilu yang jujur, juga menyangkut masalah rekonsiliasi nasional yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan diantara Junta Militer dan kelompok kelompok yang oleh junta militer dianggap sebagai pemberontak. Saat ini konflik yang terjadi yaitu pertama; Junta Militer dengan kelompok sipil kedua; Junta militer dengan kelompok pemberontak. 

Jenderal Aung San bersama U Nu adalah tokoh utama dalam memperjuangkan kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar). Sebagaimana diketahui bahwa, Burma merdeka pada 4 Januari 1948 dari jajahan Inggris. Saat penjajahan Inggris, etnis-etnis yang ada di Myanmar berjuang untuk satu tujuan yaitu mencapai kemerdekaan. Namun setelah kemerdekaan, Myanmar mengalami banyak pemberontakan yang berlandaskan unsur etnis. Setelah kemerdekaan, etnis minoritas seperti Karen, Kachin, Shan dan Rohingya menjadi etnis minoritas sedangkan etnis Burma menjadi mayoritas dan menguasai kehidupan politik di negara tersebut. Akibat dominasi etnis mayoritas Burma tersebut telah menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antar etnis-etnis yang ada di Myanmar hingga saat ini.

Pemberontakan dari kelompok etnis Shan di wilayah utara dan timur bersumber dari perlawanan terhadap dominasi etnis burma. Pemberontakan dari etnis Shan sudah berlangsung lebih kurang 20 tahun. Etnis Shan memiliki dialek tersendiri yang serumpun dengan bahasa Thai yang berbeda dengan etnis burma yang mayoritas. Meskipun tentara pemerintah dalam 20 tahun terakhir ini secara terus menerus melancarkan operasi besar-besaran terhadap kelompok etnis Shan, tidak ada pertanda melemahnya perlawanan terhadap pemerintah yang ingin memisahkan diri dari pemerintah Myanmar. Perjuangan dari etnis Shan yang ingin memisahkan diri dari Myanmar didukung oleh kekuatan ekonomi yaitu penyelundupan ganja untuk membiayai perjuangan dari kelompok tersebut.

Tidak saja etnis dari Shan, etnis-etnis yang ada di Myanmar seperti Karen, Kachin dan Rohingya juga ingin memisahkan diri dari Myanmar dan menuntuk kemerdekaan. Etnis Karen selama ini telah berjuang untuk dapat memisahkan diri dari Myanmar. Perjuangan tentara Pembebasan Nasional Karen (Karen National Liberation Army) hingga sekarang masih terus berjuang untuk memisahkan diri dari Myanmar. Rekonsiliasi Nasional di Myanmar masih belum berjalan dengan baik. Dominasi etnis Burma yang menguasai pemerintahan dan politik telah menimbulkan disharmonisasi hubungan diantara etnis-etnis yang ada di Myanmar. 

Sejak kudeta tahun 2021 pertempuran sengit antara junta militer Myanmar dengan kelompok minoritas terus terjadi hingga terjadinya gempa bumi di Myanmar tidak menyurutkan perjuangan dari kelompok minoritas yang ada di Myanmar menentang pemerintahan junta militer. Proses menuju transisi demokrasi dan rekonsiliasi nasional secara damai merupakan kunci utama penyelesaian konflik di Myanmar dan itu yang menjadi tujuan utama ASEAN untuk terus mengupayakan secara politik dan diplomasi tanpa mengucilkan Myanmar dalam keanggotaan ASEAN. ***

(Hasrul Sani Siregar, MA. Alumni Hubungan Antarabangsa, IKMAS, UKM, Bangi, Selangor, Malaysia/Widyaiswara di BPSDM Provinsi Riau).

#Opini Hasrul Sani Siregar

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index