Bekerja Dalam Perspektif Islam

Bekerja Dalam Perspektif Islam

Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.

DALAM pandangan Islam, bekerja bukan sekadar mencari nafkah atau memenuhi kebutuhan jasmani. Ia adalah ibadah, amanah, dan bentuk pengabdian yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Dalam setiap tetes keringat orang yang bekerja dengan jujur, ada nilai spiritual yang tinggi karena kerja bukan hanya soal hasil, tetapi tentang makna dan niat di baliknya.

Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.”
(HR. Bukhari).

Hadis ini menegaskan bahwa kerja adalah bagian dari martabat manusia. Islam menempatkan kerja sebagai tanda keimanan, bukan sekadar aktivitas ekonomi. Seseorang yang bekerja dengan sungguh-sungguh sedang meneguhkan perannya sebagai khalifah fil-ardh, pemakmur bumi, sebagaimana firman Allah: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi.”
(QS. Fathir: 39).

Bekerja dalam Islam adalah manifestasi tauhid yang menegaskan bahwa manusia berikhtiar dengan kemampuan yang Allah berikan, sembari tetap menyadari bahwa hasilnya adalah takdir dan karunia-Nya. Dalam kerja yang jujur dan sungguh-sungguh, iman menemukan bentuk lahiriahnya.

Imam Al-Ghazali menulis, “Sesungguhnya bekerja adalah ibadah jika diniatkan untuk menafkahi diri, keluarga, dan memakmurkan bumi Allah.”

Pernyataan ini mengandung makna mendalam bahwa kerja bukan sekadar aktivitas duniawi, tetapi bagian dari ibadah yang luas. Dalam Islam, tidak ada pemisahan antara yang duniawi dan ukhrawi selama niatnya benar. Seorang guru yang mendidik murid, petani yang menanam padi, pedagang yang jujur, atau hakim yang menegakkan keadilan, semuanya sedang beribadah di mihrab kehidupannya masing-masing.

Kerja yang berlandaskan kejujuran dan amanah menumbuhkan kehormatan. Sebaliknya, kemalasan dan ketergantungan yang tidak perlu adalah bentuk pengingkaran terhadap potensi yang Allah anugerahkan. Karena itu, Rasulullah SAW senantiasa berdoa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Bekerja dalam dimensi spiritual sejatinya adalah perjalanan ruhani. Saat seseorang bekerja dengan hati yang ikhlas, ia sedang berdzikir dalam bentuk lain. Sapu di tangan petugas kebersihan, pena di tangan penulis, atau palu di tangan tukang, semua dapat menjadi alat zikir jika digunakan dengan kesadaran bahwa Allah sedang menyaksikan setiap perbuatannya.

Salah seorang sufi berkata, “Barang siapa bekerja dengan hati yang hadir kepada Allah, maka setiap ayunan tangannya adalah tasbih”. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam, dunia tidak ditolak, tapi juga tidak disembah. Dunia adalah ladang amal menuju akhirat.

Kerja dalam perspektif Islam adalah upaya menyatukan spiritualitas dan tanggung jawab sosial. Melalui kerja, manusia belajar bersyukur, berjuang, dan berbuat baik. Kerja yang dilakukan dengan cinta dan keikhlasan akan melahirkan keberkahan, memperhalus jiwa, dan membangun peradaban.

Sebab pada akhirnya, dalam setiap langkah yang diniatkan lillāh, di situlah Islam hadir bukan sekadar dalam ucapan, tetapi dalam kerja nyata yang memakmurkan bumi dan mengantarkan manusia menuju ridha Allah.***

(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Dai, akademisi dan advokat, berdomisili di Pekanbaru)

#Opini Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index