Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.
KEBIJAKAN pemangkasan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang kini diterapkan di beberapa daerah, termasuk di Pekanbaru, menimbulkan gelombang reaksi di kalangan aparatur sipil negara. Banyak yang menilai kebijakan ini berat, bahkan tidak populer. Namun bila ditinjau dari perspektif ekonomi publik dan etika birokrasi, langkah itu bisa dimaknai sebagai bentuk puasa fiskal yang merupakan sebuah pengorbanan yang justru mengandung nilai kebajikan bagi keberlanjutan ekonomi daerah.
Pengelolaan fiskal bukan sekadar urusan neraca anggaran, tetapi cerminan moralitas kekuasaan. Di sana kita bisa melihat ke mana arah keberpihakan pemerintah, apakah kepada kenyamanan birokrat atau kesejahteraan rakyat. Ketika kondisi keuangan daerah menuntut pengetatan, pemangkasan TKD bukan semata tindakan teknokratis, tetapi pilihan etis, yaitu pemerintah sedang berupaya menahan diri agar pembangunan tidak terganggu, agar rakyat kecil tetap mendapatkan hak-hak sosialnya.
Dalam bahasa filosofis, birokrat sedang berpuasa agar rakyat bisa berpesta, menahan sebagian haknya agar kehidupan masyarakat tetap bergerak.
Dalam setiap krisis fiskal, ujian terbesar bukan pada besarnya defisit, tetapi pada kemampuan aparatur menahan diri. Puasa fiskal mengajarkan makna integritas dan tanggung jawab. Birokrat sejati adalah mereka yang memahami bahwa jabatan bukan jalan kemewahan, melainkan ruang pengabdian. Ketika insentif berkurang, dedikasi yang murni justru tampak nyata. Dalam logika ekonomi moral, pengorbanan individu aparatur dapat menghasilkan manfaat sosial yang lebih besar bagi masyarakat luas.
Pemangkasan TKD sesungguhnya bagian dari strategi menjaga kesehatan fiskal daerah. Belanja pegawai yang terlalu tinggi tanpa diimbangi pendapatan akan membebani APBD dan mempersempit ruang bagi belanja publik.
Dalam teori ekonomi publik, hal ini disebut fiscal discipline—tindakan menyeimbangkan antara kemampuan dan kewajiban. Namun dalam kerangka moral bangsa, disiplin fiskal tidak boleh menghapus rasa keadilan. Artinya, setiap kebijakan penghematan mesti tetap diarahkan untuk menjamin pelayanan publik, bantuan sosial, dan kegiatan ekonomi rakyat tetap berjalan.
Ungkapan “rakyat berpesta” tidak berarti rakyat bersuka ria di atas penderitaan birokrat, melainkan rakyat merasakan manfaat langsung dari efisiensi negara. Ketika pembangunan tetap berlanjut, harga bahan pokok terkendali, dan pelayanan publik tidak terganggu, itulah pesta sejati rakyat.
Negara yang bijak bukan negara yang memberi gaji besar tanpa hasil, melainkan negara yang berani menata ulang anggaran agar setiap rupiah benar-benar menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Dalam falsafah Islam, puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi menahan diri dari keserakahan dan ego. Bila birokrat meneladani semangat ini dalam kebijakan fiskal, maka pemangkasan TKD bukan sekadar pengurangan pendapatan, melainkan pelatihan moral.
Birokrat berpuasa, rakyat berpesta itu bukan karena rakyat menari di atas kesusahan, tetapi karena para pengelola negeri memahami hakikat amanah bahwa yang sedikit bagi dirinya bisa menjadi banyak bagi masyarakatnya.
Ekonomi daerah yang sehat hanya bisa dibangun di atas dasar moralitas fiskal yang kuat. Ketika birokrat rela berhemat demi rakyat sejahtera, di situlah letak keagungan pengabdian.
Pemangkasan TKD memang berat, tetapi jika dijalani dengan kesadaran dan keikhlasan, ia menjadi bagian dari ibadah sosial, puasa yang melahirkan keberkahan bagi daerah.***
(Dr. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Publik. Aktif menulis di bidang agama, pendidikan, hukum, dan kebijakan publik, berdomisili di Pekanbaru)