Bersama Rakyat TNI Kuat

Bersama Rakyat TNI Kuat

(Sebuah Renungan HUT ke-80 TNI)

Oleh Chaidir

TEMA HUT ke-80 TNI pada 5 Oktober 2025 adalah "TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju". "TNI Prima" menggambarkan TNI senantiasa profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. "TNI Rakyat" merujuk pada jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, sekaligus tentara nasional. “TNI Rakyat” menjelaskan bahwa kekuatan TNI berasal dari rakyat. Bersama rakyat, TNI kuat.

Dalam idiom Melayu Riau Negeri Melayu Lancang Kuning, “TNI Prima” adalah tuah TNI, “TNI Rakyat” adalah marwah. Marwah adalah harga diri. Itulah yang menjadi ruh TNI, ketika harus berada di tengah gelombang dinamika dunia modern yang serba cepat berubah, sarat  ketidakpastian, rumit, dan penuh ketidakjelasan alias multitafsir. TNI tidak bisa mengubah arah badai, tapi TNI bisa mengendalikan kemudi kapal besar NKRI dengan semangat resiliensi. 

Undang-Undang TNI terbaru, yakni UU Nomor 3 Tahun 2025, yang diundangkan pada 26 Maret 2025, merupakan bentuk resiliensi TNI yaitu kemampuan untuk bertahan, bangkit, dan beradaptasi secara positif dalam menghadapi kesulitan dan tekanan terhadap dinamika perubahan. Tugas pokok TNI kini diperluas dengan penambahan dua tugas baru, yaitu membantu menanggulangi ancaman cyber dan melindungi serta menyelamatkan Warga Negara Indonesia serta kepentingan nasional di luar negeri. Dua kepentingan ini belum dianggap masalah serius ketika UU Nomor 34 Tahun 2004 diundangkan duapuluh tahun lalu. 

Dengan UU TNI No. 3 Tahun 2025, konsep pertahanan meluas ke ruang cyber, informasi, bahkan kognitif yang bermakna menjangkau ranah pikiran manusia mencakup cara berpikir, persepsi, emosi, dan pengambilan keputusan. Ancaman Tantangan Hambatan Gangguan (ATHG) kini telah berubah. ATHG sekarang berkembang mencakup ancaman militer, non-militer, hibrida, dan multidimensi dari cyber, hingga lingkungan hidup.

Maka enam KODAM baru pun dibentuk guna memperkuat sistem pertahanan. Salah satu KODAM baru tersebut adalah KODAM XIX Tuanku Tambusai mencakup Riau dan Kepulauan Riau. Kehadiran KODAM XIX yang diberi nama “Tuanku Tambusai”, Pahlawan Nasional yang berasal dari Dalu-dalu, Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, Riau tentu saja disambut penuh kebanggaan dan kegembiraan oleh masyarakat, apalagi aktivis pro-rakyat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. 

Tunjuk Ajar Melayu banyak memuat nilai-nilai yang menjunjung keutamaan dan kemuliaan keadilan dan kebenaran. Bagi orang Melayu, keadilan dan kebenaran adalah kunci utama dalam menjaga tuah dan menegakkan marwah, mengangkat harkat, martabat dan kewibawaan. Keadilan dan kebenaran tidak dapat ditawar-tawar, wajib ditegakkan karena semuanya adalah acuan mengenai kehidupan, pemerintahan dan sikap hidup orang Melayu demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Orang Melayu berani mati untuk membela keadilan dan kebenaran. Orang tua-tua mengatakan, “takut karena salah, berani karena benar.” 

Dalam konstruksi berpikir seperti itulah kita mengelu-elukan HUT ke-80 TNI dan terbentuknya KODAM baru, memberi apresiasi sekaligus juga menyampaikan refleksi dengan penuh kesadaran bahwa Riau dan Kepulauan Riau sedang tidak baik-baik saja.  Kepulauan Riau misalnya, belum selesai dengan tragedi Rempang dan Galang. Pengusiran penduduk asli dari tanah nenek-moyang mereka masih meninggalkan luka dalam. Sementara Riau, kacau balau, galau tingkat dewa. Riau bernasib seperti “Kuda Troya” dalam mitologi Yunani Kuno itu, setelah habis dipakai, ditunggangi, diperkuda, ditinggalkan menjadi benda rongsokan tak berguna.

Dari sekian masalah yang dihadapi Riau, yang paling membuat risau adalah masalah perambahan hutan dan lahan. Pemuka-pemuka masyarakat Melayu Riau yang bersuara lembut penuh kesantunan itu, hanya bersenjata kalam, tak berani konfrontatif, tak memiliki pedang terhunus dalam memperjuangkan hutan dan lahan demi anak cucu mereka. Maka tak dipedulikan elit politik dan penguasa, mereka tidak takut. Pemuka masyarakat Riau akhirnya membiarkan Hutan Lindung di Riau dijarah oleh siapa yang kuat, dikuasai cukong dengan para pembeking oligarki di belakangnya. Kasus TNTN hanya satu dari sekian banyak puncak gunung es di Riau. Tapi, agaknya ada hikmahnya, bila pemuka Riau punya keberanian dengan pedang terhunus, sudah lama Riau ini memberontak, dan Negeri Lancang Kuning Laut Sakti Rantau Bertuah ini sudah lama berdarah-darah menjadi ladang pembantaian.  

Sekarang gelagatnya menyedihkan, SATGAS penegakan hukum Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang seharusnya memberantas kejahatan kehutanan dan perambahan, justru bisa "dilumpuhkan". Cerita miring yang banyak beredar, itu terjadi karena dugaan suap, intimidasi, atau kurangnya kapasitas. Hal ini tentu saja menjadi masalah yang sangat serius. Mentalitas adalah akar masalah yang menggerogoti sistem sehingga kejahatan perambahan hutan dan lahan sulit diatasi. Sekarang cukong kebun sawit di TNTN memang tiarap dan mungkin mencari siasat dengan para pembekingnya, untuk kemudian nanti pasca penertiban oleh SATGAS PKH, oknum dan Cukong kembali berkuasa. Lihatlah, lahan eks TNTN dan lahan eks penertiban SATGAS ternyata masih dikebunkan, bahkan hanya pindah tangan pengelola. Bahkan dalam pengelolaan aset sitaan yang diserahkan PT. Agrinas, para pengelola kembali bekerjasama dengan para cukong; alasannya sederhana, butuh dana pengelolaan. Jadi, hanya berpindah saja dari mulut singa ke mulut harimau, sekarang justru para cukong dan pembeking ini lebih kuat karena negara berada di belakangnya. 

Logikanya payah, perambah yang dikendalikan mafia, rencananya direlokasi diberi lahan sedangkan orang Riau asli yang banyak tidak punya lahan hanya hidup sebagai pendodos dan buruh kebun, tidak diberi lahan; lahan di tepi desa mereka pun sudah dialokasikan oleh penguasa kepada korporasi.  Ini masalah sensitif karena menyangkut rasa keadilan.

Pakar manajemen dunia Peter Drucker benar menyebut, “the enemy is not out there”, musuh tidak berada di luar sana. Bila musuh tidak berada di luar sana, berarti musuh itu berada dalam rumah kita, namanya musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Payung penertiban kawasan kelihatannya hanya memberi makan kepada musang berbulu ayam.

Dirgahayu TNI, semoga TNI Prima, TNI Rakyat. Kalau TNI menyebut, bersama rakyat TNI Kuat, rakyat pula menyebut bersama TNI rakyat kuat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, penulis, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

#Opini Dr. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index