Membangun Kepercayaan Publik

Membangun Kepercayaan Publik

Oleh Chaidir

RESHUFFLE kabinet, tour of duty, pelantikan pejabat untuk mengisi struktur organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun di kabupaten dan kota, adalah sesuatu yang lumrah. Sama lumrahnya bahwa pelantikan itu tak pernah sepi dari kontroversi. Di tengah kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin undang-undang; keterbukaan tak bertepi; di era media yang sangat berkuasa; era medsos; isu pro-kontra, like and dislike, goreng-menggoreng tumbuh sangat subur; begini salah begitu salah.

Banyak hal jadi sorotan, seperti misalnya kapasitas kompetensi seseorang, kesesuaian kompetensi seseorang dengan tupoksi lembaga, rekam jejak atau jejak digital seseorang, timses atau bukan timses, lingkaran dinasti, lingkaran oligarki, kenapa si A bukan si B dan sebagainya, semua bisa diolah. Kehebohannya membuat kita terlena, ibarat peribahasa Melayu, kita “dirintang siamang berbuai”; keasyikan melihat siamang bergayut dari dahan ke dahan di hutan rimba, lupa nasi belum masak.

Maksudnya, kita asyik berbalas pantun, tapi lalai dalam memaknai filosofi, memaknai makna di balik peristiwa dan tak serius mendalami tujuan utama atau esensi pelantikan pejabat dalam sebuah organisasi. Kita pahami, pejabat (SDM) adalah instrumen penting sebuah organisasi, harus digerakkan secara efektif dan efisien oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus mengelola dan menggerakkan dengan baik sumberdaya organisasi “5M” (man, money, materials, macchine, method); sekarang dalam pendekatan sistem informasi manajemen modern, sumberdaya “5M” itu ditambah satu lagi, yakni informasi. 

Secara teoritis, pengisian personalia dalam struktur organisasi pemerintahan, di pusat maupun daerah,  merupakan bagian penting dalam prinsip tatakelola yang baik atau good governance. Menurut UNDP (United Nations Development Programme), para ahli di Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan World Bank, serta beberapa literatur tata kelola pemerintahan, prinsip utama good governance itu mencakup: partisipasi, rule of law, transparansi, responsivitas (kepekaan), konsensus, keadilan (equity & inclusiveness), efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. 

Ringkasnya, good governance adalah tata kelola yang transparan, akuntabel, adil, partisipatif, efektif dan efisien, sehingga menumbuhkan kepercayaan rakyat. Penerapannya penting untuk mencegah korupsi, memperkuat demokrasi, dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Good governance bukan sekadar aturan dan prosedur, SOP, melainkan jiwa atau ruh dari pemerintahan yang jujur, adil, dan penuh tanggung jawab. Good governance merupakan ikhtiar mulia untuk menjaga marwah (harga diri) bangsa, menegakkan kepercayaan rakyat, dan mewariskan masa depan yang lebih bermartabat. Dan jiwa atau ruh pemerintahan itu melekat pada SDM (pejabat) yang diberi kepercayaan menduduki jabatan di struktur pemerintahan.

Sayangnya dari berbagai kejadian yang mudah diamati dan menjadi pemberitaan terkini viral di media masa, tergambar dengan jelas, perilaku elit politik dan penguasa kurang memiliki empati pada nasib dan penderitaan rakyat. Di samping kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat, korupsi juga terjadi di mana-mana, anehnya, penegakan hukum (law enforcement) mengecewakan, banyak kasus korupsi yang viral, hanyut entah kemana, terbang dibawa angin.  Perilaku koruptif elit politik dan penguasa, perilaku arogan, hedon, dan hipokrit menjadi tontonan setiap hari: kepercayaan dikhianati, janji diingkari, sumpah dilanggar, kewenangan dilampaui, dan komunikasi pemerintahan buruk. 

Dan ini dinilai mencederai dan melukai perasaan rakyat; rakyat merasa dikhianati dan dikecewakan, sehingga timbullah ketidakpercayaan publik (social distrust), termasuk pandangan skeptis terhadap pejabat-pejabat yang baru dilantik; so pasti tentu tidak semua buruk, tapi di sini berlaku pepatah, “akibat nila setitik rusak susu sebelanga.” 

Tingkat kepercayaan sosial masyarakat kita rendah terhadap lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk aparat penegak hukum, sementara kita berada dalam sebuah era, apa yang dikenal sebagai VUCA – Volatility (volatilitas, situasi yang berubah cepat), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (situasi yang rumit), dan Ambiguity (ketidakjelasan makna atau arah yang multitafsir). VUCA merupakan gambaran dunia modern yang serba cepat berubah, tidak pasti, rumit, dan penuh ketidakjelasan. Dalam kondisi seperti ini kita dituntut untuk mampu melakukan resiliensi atau beradaptasi dengan cara membangun sinergi dan kolaborasi melalui superteam.

Trust building (membangun kepercayaan) adalah modal yang sangat penting dalam menciptakan sinergi dan kolaborasi dalam superteam tersebut. Francis Fukuyama menyebut di era borderless state sekarang, modal kapital dan teknologi perlu, tapi modal yang sangat penting adalah kepercayaan (trust). Trust menjadi dasar hubungan sehat, tanpa kepercayaan, kerja sama dalam superteam hanya bersifat formalitas dan penuh kecurigaan.

Trust juga mengurangi konflik; kepercayaan membuat pihak-pihak lebih terbuka dalam berkomunikasi secara jujur, sehingga salah paham dapat diminimalkan. Trust juga meningkatkan komitmen; jika sudah saling percaya, masing-masing pihak akan merasa aman dan nyaman dengan penuh rasa tanggungjawab dalam menunjukkan komitmen. Semua pihak merasa sejajar, dihargai, dan saling mendukung.

Oleh karena itu tugas berat para pejabat yang baru dilantik (para menteri kabinet, pejabat eselon di pusat dan di daerah) adalah menumbuhkan kepercayaan publik dan membangun budaya saling percaya untuk memaksimalkan kemampuan bersinergi dan berkolaborasi dalam sebuah super team untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah.  Kearifan lokal budaya Melayu Riau menyebut, “tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan, tak ada kusut yang tak bisa diungkai.” Kearifan lokal ini pun menuntut kita untuk saling menghargai, saling menghormati, dan ruhnya adalah rasa saling percaya. Trust itu adalah tuah. Dengan menjaga tuah berarti kita telah menegakkan marwah atau harga diri. Ingat pepatah Melayu, “sekali lancung keujian seumur hidup orang tak percaya.” Bermakna, sekali berbuat curang, tidak jujur, terbukti tidak punya integritas, seumur hidup orang tak lagi percaya. Orang yang tak bisa dipercaya tak layak diajak berunding. Tabik.***  

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

#Opini Dr. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index