Bukan Debat Kusir

Oleh Chaidir

ALKISAH Menteri Penerangan Harmoko (Menteri top di era Orde Baru), sedang naik delman ketika mendengar seperti ada suara gunung meletus dari arah depan dan kemudian tercium bau yang kurang sedap. ”Maaf Pak Menteri, kudanya kentut!” ujar sang kusir delman merasa kurang enak hati. Menteri Harmoko menimpali cepat, “kudanya masuk angin ya.”

Seperti diceritakan dalam blog (bandungvariety.wordpress.com),  Sang kusir langsung membantah,  “bukan masuk angin pak Menteri, tapi keluar angin”. Merasa didebat, Harmoko mencoba meyakinkan kusir, “ya itu namanya masuk angin, Pak!” Namun sang kusir delman tak mau kalah, jangankan kalah, draw pun sepertinya dia tak mau. ”Pak, Pak Menteri, yang namanya kentut itu bukan memasukkan angin tapi mengeluarkan angin, jadi namanya keluar angin! Bapak ini gimana sich?” Tangkis sang kusir. Mendengar sang kusir yang lancang, tak mau berpanjang-panjang, Harmoko langsung mengeluarkan jurus pamungkas, “Menurut petunjuk bapak Presiden (maksudnya tentu Presiden Soeharto),….kuda itu masuk angin!”…Habis perkara, habis debat… Siapa yang berani membantah petunjuk Presiden yang sangat berwibawa pada masa itu? Maka konon, semenjak itulah segala macam debat yang kurang bermutu atau tak jelas ujung pangkalnya, masing-masing pihak pantang tak hebat, disebut debat kusir.

Debat pilgub Riau 2024, yang berakhir tiga  malam lalu, jelas bukan debat kusir. Para penonton di arena debat dan di rumah yang menyaksikan debat pasti sepakat, debat pilgub Riau sesi kedua atau sesi terakhir ini lebih menarik, ”lebih menyala abangkuh”. Buktinya, walau debat resmi yang diselenggarakan KPU telah berakhir, debat susulan di kedai kopi dan di media sosial belum berakhir, bahkan semakin talu-bertalu ibarat gendang. Materi debat sudah melebar kemana-mana tak jelas lagi ujung pangkalnya. Moderator tak bisa menghentikan karena memang tak ada moderator. Semua bebas berdebat pantang tak hebat. Nah ini, baru debat kusir, bro.

Terlepas dari segala plus-minusnya, debat kandidat pilkada serentak 2024 di seluruh Indonesia, berlangsung meriah dan dinanti publik. Publik bukan menunggu isu apa yang paling hangat diperdebatkan. Publik tidak menunggu kepiawaian dan kecerdasan sang calon memilih dan mengemas isu. Penonton juga tidak menanti bagaimana kandidat memainkan olah vokal, olah verbal olah visual, dan bagaimana sang calon pemimpin mempertontonkan kedewasaannya adu argumentasi. Tidak. Penonton menanti kapan panggung debat menjadi ring tinju.

Memang tidak mudah menyelenggarakan debat kandidat pilkada yang ideal, karena KPU harus mempertimbangkan banyak hal. Sulit menyeragamkan standar tema bila debat dianggap sebagai panggung adu kebolehan, uji pengetahuan dan uji kemampuan calon pemimpin, serta uji performa sebagai seorang negarawan. Di panggung tersebut mestinya calon pemimpin bisa mempertontonkan segala kemampuan yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin.

Masalahnya, dalam sebuah negara seperti Indonesia yang saat ini sedang dilanda eforia kehidupan berdemokrasi pasca reformasi, semua orang bisa merasa mampu atau mampu merasa bisa untuk tampil sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Tak perlu mengukur bayang-bayang atau mengukur panjangnya tali kail. Alangkah repotnya panelis menyusun narasi untuk sebuah pertanyaan misalnya, dengan harus mempertimbangkan potensi akademis calon yang akan berdebat, sebab latar belakang pendidikan formal paslon sangat bervariasi mulai dari hanya SLTA (itu pun sebagian melalui ujian persamaan), sampai jenjang doktor. Tingkat pendidikan pasti mempengaruhi verbal ability dan analitical ability calon.

Walaupun debat kandidat ini bagian dari pendidikan politik bagi kandidat dan bagi masyarakat, ke depan agaknya perlu dikaji, seberapa signifikankah debat kandidat ini mempengaruhi elektabilitas calon, dan peluang untuk terpilihnya seorang pemimpin yang teruji dan patut. Sebab umum dipahami, di negeri kita, debat publik di televisi tidak mengubah persepsi penonton, masing-masing sudah punya pilihan, berapa sesipun debat dibuat. Debat tak memberi pengaruh signifikan.

Opsi lain pengganti debat misalnya, para calon diharuskan memberi studium generale (kuliah umum) tematik di kampus-kampus. Di kelas, sang calon akan mendapatkan gagasan-gagasan segar dari mahasiswa dan mahasiswa memperoleh pula pengamalan berharga bagaimana harusnya mempersiapkan diri sebagai ”calon pemimpin masa depan”, yang menjadi predikat mahasiswa.  Di kelas, tanpa yel-yel, tanpa pendukung, tanpa gimmick politik, tanpa pertanyaan titipan konyol, sang calon bisa berdiskusi secara kritis, argumentatif, atraktif, solutif  dan cedas dengan mahasiswa. Amboi.***

(Penulis Dr. drh. H. Chaidir, MM, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

 

gambar