JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menilai kesalahan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perdata antara Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tahapan pemilihan umum (pemilu) masih dapat diperbaiki.
Hal itu disampaikan Hakim Agung Suharto selaku Juru Bicara MA guna menjelaskan alasan lembaganya menjatuhkan sanksi mutasi majelis hakim yang terdiri dari Tengku Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban. Adapun majelis hakim yang mengadili dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu menjatuhkan putusan dalam perkara Prima itu pada pokoknya menghukum KPU menunda tahapan pemilu.
Menurut Suharto, putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim masih bisa diperbaiki di tingkat II atau Pengadilan Tinggi atau kasasi di MA. Oleh sebab itu, MA tidak menjatuhkan hukuman dua tahun non-palu sebagaimana rekomendasi Komisi Yudisial (KY).
“Terkait hukuman disiplin terhadap hakim yang memutus penundaan pemilu, karena pelanggaran yang bersifat teknis yudisial dan kesalahannya masih dapat diperbaiki melalui upaya hukum, maka hukumanya tidak seperti yang direkomendasi oleh KY,” kata Suharto, saat dilansir kompas.com, Kamis (24/8/2023).
Adapun terhadap kekeliruan putusan itu, Hakim Tengku Oyong dimutasi ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu, Hakim Bakri dimutasi ke PN Padang, dan Hakim Dominggus Silaban dimutasi ke PN Jambi.
Dalam putusan ini, MA menilai ketiganya melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMS/SK/IV/2009-No 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang pengaturan huruf C. Pengaturan angka 10 jo PB MARI dan KY Pasal 14 dan Pasal 18 Ayat 4.
“Hukuman disiplin yang dijatuhkan sanksi sedang berupa mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah,” demikian bunyi sanksi Badan Pengawasan MA yang dilansir situs MA, Selasa (22/8/2023).
Diberitakan sebelumnya, Sekretariat Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) selaku papor telah mendapatkan salinan putusan dari KY dengan nomor surat 1798/PIM/LM.04.02/07/2023.
Dokumen tersebut berisi putusan hasil sidang Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditujukan kapada Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu Tengku Oyong, Bakri, dan Dominggus Silaban.
Ketiganya dinyatakan terbukti melanggar kode etik atas tindakan mengeluarkan putusan nomor register 757/Pdt. G/2022/PN Jkt. Pst, untuk menunda Pemilu 2024 yang berarti bertindak di luar kuasa (ultra vires). Dalam putusan etik itu, KY menjatuhi sanksi berat terhadap tiga Majelis Hakim (terlapor) berupa “Hakim non-palu selama 2 (dua) tahun”.***