Semarang (AmiraRiau.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang memprotes langkah aparat kepolisian di Kota Semarang yang menghalangi kerja jurnalis saat meliput aksi demonstrasi penolakan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada Rabu 7 Oktober 2020.
Berdasarkan catatan AJI Kota Semarang, aparat kepolisian menghalangi kerja jurnalis saat meliput demonstrasi di kantor DPRD Jateng jalan Pahlawan Kota Semarang. Saat itu polisi bersikap intimidatif dan melarang jurnalis merekam aksi demonstrasi. Bahkan mereka minta wartawan menghapus sejumlah file gambar dalam bentuk video maupun foto yang diambil wartawan.
Saat itu demonstrasi berakhir rusuh, sedangkan aparat polisi bertindak keras terhadap para demonstran dengan cara memukul, menendang, bahkan merusak telepon genggam serta menangkap peserta aksi.
AJI Semarang menilai sikap aparat kepolisian itu melanggar undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, khususnya dalam Pasal 18 yang menyebut, setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.
Tercatat ada dua jurnalis yang melapor ke AJI Semarang, masing-masing Muhammad Dafi Yusuf dari suara.com yang mengaku diminta oleh polisi untuk tidak mengambil gambar dan menghapus video saat liputan, serta Praditya Wibi dari serat.id juga mengalami hal yang sama. Tak menutup kemungkinan perlakuan polisi itu juga dialami oleh jurnalis lain.
Langkah itu sangat mencoreng intitusi kepolisian yang seharusnya melindungi publik. Langkah aparat kepolisian itu sangat keliru karena tak profesional dalam menjalankan tugas sebagai aparat yang seharusnya mengayomi dan mejaga keamanan sipil. Polisi tak memahami produk hukum yang seharusnya ditegakkan bukan justru melanggar.

