JAKARTA- Isu perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup menuai reaksi tajam dari berbagai kalangan.
Kabar ini bermula dari cuitan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana.
Dia mengaku mendapat informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang pada pokoknya mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.
Denny, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, tak mengungkap sumber informasi tersebut. Pakar hukum tata negara tersebut hanya memastikan, kabar itu dia dapat dari informan yang kredibel, patut dipercaya, dan bukan dari hakim MK.
Meski MK telah membantah bocornya putusan uji materi terkait sistem pemilu, sejumlah politisi hingga partai politik ramai-ramai angkat bicara terkait ini.
Sebagian menolak sistem pemilu diubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup, sebagian menyoroti desas-desus bocornya putusan MK.
Sistem pemilu Orba
Denny Indrayana termasuk yang berharap sistem pemilu tak diubah menjadi proporsional tertutup. Sebab, menurutnya, berubahnya sistem pemilu di tengah tahapan yang sedang berjalan berpotensi mengacaukan pelaksanaan pemilihan.
“Karena banyak partai yang harus mengubah daftar bakal calegnya (calon legislatif), atau pun karena banyak bakal caleg yang mundur karena tidak mendapatkan nomor urut jadi,” kata Denny dalam keterangan tertulis, Selasa (30/5/2023).
Selain itu, mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup dinilai akan membawa Indonesia kembali ke masa Orde Baru.
Dengan sistem tersebut, rakyat hanya dapat memilih tanda gambar partai tanpa mengetahui orang-orang yang akan menjadi wakil mereka di legislatif.
“Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba, otoritarian dan koruptif,” ujar Denny.
Oleh karenanya, kendati mengaku mendapat informasi kredibel soal putusan uji materi UU Pemilu, Denny berharap MK tak memutuskan untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
SBY turun gunung
Mendengar kabar perubahan sistem pemilu, Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung. Menurut SBY, mengubah sistem pemilu ketika tahapan pemilu sedang berlangsung bakal mengacaukan situasi.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu pun mempertanyakan urgensi perubahan sistem pemilu kepada MK.
“Apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai,” tulis SBY di Twitter, Minggu (28/5/2023).
“Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kpd KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan ‘chaos’ politik,” sambungnya.
SBY juga mempertanyakan apakah sistem proporsional terbuka yang saat ini berlaku bertentangan dengan konstitusi.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu juga mengatakan bahwa MK tak berwenang untuk menentukan sistem pemilu mana yang paling tepat untuk Indonesia.
Menurutnya, jika MK tidak punya alasan yang kuat terkait perubahan sistem pemilu, maka publik akan sulit menerimanya. SBY juga mengatakan bahwa mayoritas partai politik akan menolak perubahan sistem tersebut.
8 fraksi menolak
Tak mau kalah, delapan fraksi partai politik di DPR menyatakan sikap terkait isu putusan MK yang hendak mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Delapan fraksi tersebut berharap MK menolak gugatan uji materi sehingga pemilu tetap menggunakan sistem proporsinonal terbuka. Kedelapan fraksi parpol tersebut yakni Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Gerindra.
Hanya PDI Perjuangan yang tak ikut menyatakan sikap bersama delapan fraksi DPR RI menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
“Maka kita meminta supaya tetap sistemnya terbuka,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir saat membuka konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Kahar mengatakan, banyak implikasi yang akan terjadi jika sistem pemilu terbuka yang sudah berlangsung sejak 2008 itu tiba-tiba diubah. Pertama, proses Pemilu 2024 sudah berjalan sampai tahapan pendaftaran bakal calon legislatif (bacaleg).
Jika sistem pemilu diubah, bukan tidak mungkin para bacaleg kehilangan hak konstitusionalnya. Para bacaleg yang sudah mendaftarkan diri itu juga bakal merugi.
“Paling tidak mereka urus SKCK segala macam itu ada biayanya. Kepada siapa ganti ruginya mereka minta? Ya bagi yang memutuskan sistem tertutup. Bayangkan 300.000 orang itu minta ganti rugi, dan dia berbondong-bondong datang ke MK, agak gawat juga MK itu,” ucap Kahar.
Sementara itu, Ketua Fraksi Nasdem DPR Roberth Rouw mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan kehendak rakyat. Sehingga, delapan fraksi DPR mengupayakan untuk menjaga kedaulatan rakyat, khususnya hak memilih calon legislatif.
“Maka, saya minta supaya enggak cuma MK yang kami minta, kami minta juga presiden bisa mendukung apa yang menjadi harapan dari masyarakat,” ujar Roberth.
“Ini bukan cuma harapan kita, tapi ini harapan dari masyarakat untuk pemilu ini bisa secara terbuka karena itu hak rakyat,” sambung dia.
Dibantah MK
MK pun telah angkat bicara atas kegaduhan ini. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, proses persidangan atas gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyoal sistem pemilu belum selesai dan masih berjalan.
“Yang pasti, sesuai agenda persidangan terakhir kemarin, tanggal 31 Mei mendatang penyerahan kesimpulan para pihak,” kata Fajar Laksono saat dimintai tanggapannya, Minggu (28/5/2023).
Sesudahnya, proses persidangan baru akan masuk putusan majelis hakim. Jadwal sidang putusan itu pun, kata Fajar, masih belum ditetapkan.
“Setelah itu, perkara baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH (rapat permusyawaratan hakim). Selanjutnya, akan diagendakan sidang pengucapan putusan,” ujarnya.
Fajar melanjutkan, perihal jadwal sidang putusan gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 yang teregister dengan nomor 114/PUU-XX/2022 itu nantinya akan disampaikan melalui website resmi MK. “Belum, kalau sudah, pada saatnya nanti, pasti nanti akan dan harus di-publish lewat Jadwal Sidang di laman mkri.id,” katanya.***

