Oleh Chaidir
SEBELUM matahari terbenam di ufuk barat, Rabu 27 November 2024, Masyarakat Riau “Rantau Bertuah” ini sudah mengetahui siapa yang akan menjadi nakhoda daerah ini ke depan. Di ambang senja Rabu itu, keriuhan pilkada telah usai. Game is over. Pluit panjang telah berbunyi. Berapapun skor akhir pertandingan, tak lagi bisa diubah. Siapapun paslon yang terpilih, itu adalah kehendak rakyat. Ini prinsip dalam sebuah negeri yang menganut paham demokrasi.Bahwa demokrasi di negeri Konoha itu konon mengidap banyak penyakit menahun yang belum tersembuhkan, itu masalah lain, mungkin perlu masa satu generasi untuk penyembuhannya. Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris paling disegani sepanjang sejarah, menarik perhatian dunia ketika menggambarkan betapa ajaibnya demokrasi itu. “Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang lebih teruji,” ujarnya. Demokrasi memang unik, dipuji sekaligus dicaci.
- Baca Juga Bahasa Melayu sebagai Bahasa ASEAN
Fakta lain tentang demokrasi tersebut yang tak bisa dielakkan, hiruk-pikuk pilgub Riau 2024 dengan segala suka-duka, susah-senang, pahit-manis dalam kehidupan bermasyarakat untuk mewujudkan demokrasi itu, segera memasuki bilik sejarah, tak akan pernah kembali lagi selamanya. Ungkapan puitis filsuf Romawi Cicero, pasca terbunuhnya penguasa Romawi Kuno Julius Caesar oleh para senator empat puluh tahun Sebelum Masehi, yang kemudian menimbulkan perang saudara dalam masyarakat Romawi, menarik untuk dikenang. ”Oblivione sempiterna delendam”, ujar Cicero. Biarlah kepedihan peristiwa masa lalu yang kelam itu tenggelam dalam tidurnya yang abadi.
Kontestasi pilgub yang sedikit-banyak menimbulkan polarisasi, fragmentasi, pengelompokan dalam masyarakat akibat mobilisasi masing-masing kubu kontestan apalagi dipetkuat oleh kebebasan dan keterbukaan media tak bertepi, belum sampai sebagai sebuah wilayah kelam. Kontetasi disadari memang tidak menimbulkan konflik, tapi politisasi pilkada yang berlebihan selalu dipenuhi aroma ambisi, manipulasi, benci, iri hati, dengki, bahkan pengkhianatan. Apa yang tampak sebagai tindakan heroik bagi satu pihak, bisa menjadi pengkhianatan bagi pihak lain.
Kita pahami, sebagaimana didodoikan oleh para ilmuwan dan para pengamat, demokrasi itu sebenarnya bertujuan untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih baik sesuai kehendak rakyat. Pemerintahan yang lebih baik akan mengelola negeri secara lebih baik. Untuk apa? Untuk percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat lebih baik dan lebih baik. Maka tujuan demokrasi itu sering diringkas: untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Kenyataannya, harapan tinggal harapan.
Farid Zakaria, editor senior Newsweek International, dalam bukunya “The Future of Freedom” (1997) edisi Bahasa Indonesia (Masa Depan Kebebasan, 2004) seolah menemukan jawaban, ketika ia memperoleh fakta menarik dari hasil penelitiannya di Afrika, bahwa pemilihan umum di banyak negara di benua hitam itu, menghasilkan pemerintah yang tidak efisien bahkan korup. Padahal, pemilu itu adalah pakaian demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pemilu.
Hal itu sejalan dengan pandangan pakar politik ternama, Samuel P. Huntington, yang mengatakan bahwa pemilihan umum, keterbukaan, bebas dan jujur merupakan inti dari demokrasi, yang masing-masing saling terkait dan tak terpisahkan. Namun Pemerintah yang dihasilkan dari pemilihan umum bisa jadi tidak efisien, korup, berpandangan sempit, tidak bertanggung jawab, didominasi oleh kepentingan-kepentingan khusus dan tidak mampu menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan harapan rakyat. Mereka cenderung menjadi otokratis, oligarkis dan parokhialistis.
Demokrasi dengan sistem pemilihan langsung, yang kita anut sekarang, sebenarnya sudah berada pada lintasan yang benar walaupun banyak penyakitnya. Sistem pemilihan langsung itu diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh mahasiswa kita dalam gerakan reformasi. Dengan pemilihan langsung, pada hakikatnya diakui, rakyatlah yang menjadi pemilik sah negeri ini, bukan politisi, bukan pula penguasa.
Tidak sedikit contoh kasus betapa demokrasi yang dipuja-puji dalam proses lahirnya seorang pemimpin atau terbentuknya suatu pemerintahan, dan mendapat predikat terpilih secara demokratis, tanpa perlu menunggu waktu lama, acap kali, segera nampak belangnya. Laras senjata demokrasi itu diarahkan moncongnya kepada rakyat yang telah memberikan suaranya. Rakyat ditakut-takuti untuk tunduk. Saingan dan kelompok yang beroposisi dihabisi agar takluk setakluk-takluknya, kawan dikebiri agar menjadi pembisik-pembisik yesmen. Atau barangkali, pemimpin yang terpilih itu sadar bagaimana kekuasaan politik itu diperoleh. Semua transaksional. Ketika semuanya sudah diselesaikan, tak ada lagi hutang yang harus ditunaikan.
Kita telah memilih sistem demokrasi. Tapi kadang kita bertanya dalam hati haruskah pilkada kita banal seperti ini, jauh dari cerminan nilai-nilai masyarakat yang memiliki harga diri? Barangkali ini proses pembelajaran dan pendewasaan bagi masyarakat kita dalam berdemokrasi. Semogalah demikian. Semogalah hiruk-pikuk pilkada itu segera berlalu. Bersama kita bergandengan tangan menegakkan harga diri masyarakat. Biduk lalu kiambang bertaut.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, penulis, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)