Biduk Lalu Kiambang Bertaut: Seperempat Abad Pasca Reformasi

Biduk Lalu Kiambang Bertaut: Seperempat Abad Pasca Reformasi

Oleh Chaidir

SAMPAI sehari menjelang dunia kiamat, peribahasa Melayu “Biduk lalu kiambang bertaut”,  agaknya akan tetap relevan dalam kehidupan masyarakat berbilang kaum di universe atau planet yang kita diami ini. Dalam masa seperempat abad pasca reformasi saja, bidal tersebut sering kita gunakan sebagai ungkapan peribahasa menyikapi situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sudah menjadi kodrat alam, manusia itu hidup berkaum-kaum, berbangsa-bangsa, bersuku-suku, beda agama, beda ras, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut seringkali menimbulkan persaingan, karena berbedanya kepentingan. Bellum omnium contra omnes, kata filsuf Thomas Hobbes. Manusia itu cenderung bersaing antara satu dengan lain, bahkan adakalanya terjerumus menjadi homo homini lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya. Sebenarnya, jauh sebelum Hobbes, Nabi Muhammad SAW,  bersabda lebih tegas, bahwa manusia akan saling bertengkar satu dengan lainnya bahkan akan saling bunuh karena memperebutkan harta dan kekuasaan. Postulat ini relevan sampai akhir zaman kelak. 

Entah bagaimana asal mula ceritanya, entah sejak kapan, tak ada catatan, orang tua-tua kita sangat jeli melihat fenomena alam di sekelilingnya. Kiambang adalah sejenis tumbuhan air yang mengapung pada permukaan air danau yang tak mengalir.  Tanaman itu berkembang biak dengan cepat, berebut simpati menutupi permukaan air dan memberi ruang kehidupan sebagai tempat persembunyian ikan. Namun kiambang sebenarnya rapuh. Kiambang dengan mudah dibuat bercerai-berai oleh perahu yang lewat; tapi tak mengapa, karena ketika perahu berlalu, kiambang kembali bersatu. 

Kearifan alam itu dibaca oleh orang-orang tua kita dulu, bahwa kehidupan kita ini sebenarnya sepantun kiambang, “biduk lalu kiambang bertaut”. Peribahasa ini seiring peribahasa lain yang semangatnya sama; “ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun”, “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Berbeda dengan Thomas Hobbes yang melihat kehidupan itu penuh persaingan, orang tua-tua Melayu justru melihat sebaliknya, bahwa kehidupan itu penuh semangat kekeluargaan, penuh rasa persaudaraan. Hubungan persaudaraan mengandung makna toleransi atau tenggang rasa. 

Perselisihan atau pertengkaran sesama saudara hanyalah bersifat sementara. Biduk yang diumpamakan perselisihan pasti berlalu, dan kiambang yang tersibak pasti kembali bertaut. Agar biduk yang menjadi masalah itu tak muncul lagi, benamkan biduk ke dasar danau. Kitab suci Al Qur’an menyebut, ”Tanda utama orang bertaqwa adalah menghilangkan dendam, mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain dengan lapang dada (QS Ali Imran ayat 134). Pilkada hanya sekali lima tahun, sementara persaudaraan itu sepanjang tahun sepanjang hayat. Dalam kearifan nilai-nilai budaya Melayu disebut, ikatan persaudaraan itu ibarat air. Bidalnya: air dicincang putus tiada. 

Sudah menjadi rahasia umum di Riau, hubungan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Wakil Gubernur SF Hariyanto sempat renggang. Beberapa upaya mediasi oleh para tokoh Melayu, termasuk UAS, belum menampkakan hasil, sementara api dalam sekam terus berasap. Namun kini hubungan keduanya telah kembali harmonis. Seperti diberitakan berbagai media, keduanya tampak berjabat tangan dengan hangat dalam pertemuan bersama Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan di kediaman dinas Gubernur Riau Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Kamis (30/10/2025). Mereka bertiga sempat melakukan video call dengan Ustaz Abdul Somad (UAS). Keduanya sepakat untuk terus bersinergi dalam menjalankan program pembangunan daerah demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. “Biduk lalu kiambang bertaut.” Tak ada kusut yang tak bisa diungkai, tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan. 

Kita berharap kedua pemimpin move-on, looking forward, dan dengan gagah berani mendada apapun tantangan yang dihadapi. Ke depan, kedua pemimpin harus segera berbenah dan kja keras. Agenda efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, telah sangat memperlemah kapasitas fiskal daerah. Berbagai masalah di daerah tak bisa dihadapi sendiri, bahkan tidak bisa diselesaikan oleh dwitunggal Gub-Wagub, melainkan harus oleh superteam yang tangguh dengan melibatkan akademisi, pimpinan korporasi dan pemuka masyarakat untuk bersama-sama memberi jawaban melalui inovasi, sinergi dan kolaborasi.

Orang Melayu sangat menghormati, menjunjung tinggi dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Orang Melayu menyadari pula, bahwa musyawarah dan mufakat baru dapat mencapai tujuan dan bermanfaat bila dilakukan dengan adat istiadatnya secara baik dan benar, harus saling menghormati, duduk sama rendah tegak sama tinggi, menghargai pikiran orang lain, menjunjung keadilan dan kebenaran, menjauhkan sak wasangka, mendahulukan kepentingan umum, tidak mementingkan diri atau kelompok tertentu.

Dalam perspektif kepemimpinan Melayu, pemimpin di negeri Melayu hanya memiliki dua agenda: pertama menyejahterakan masyarakatnya; kedua, memberi keteladanan. Pemimpin harus memberi keteladanan dalam menjunjung adab, adat dan budaya Melayu. Hanya saja ketika kita sekarang berada di era kepemimpinan modern, mau tak mau sang pemimpin harus menata ulang skill dan mindset kepemimpinan: solid management dan leadesrhip skill; berpikir global bertindak lokal; kelincahan kepemimpinan (leadership agility); dan upaya tak kenal lelah untuk menjembatani berbagai jarak (jarak geografical, jarak emosional, jarak kultural, dan jarak sosial).

Leadership agility didukung oleh toleransi terhadap ambiguitas, resiliensi (bangkit dari situasi sulit), kerendahan hati, dan toleransi melihat berbagai masalah dalam berbagai perspektif (Paula Caliguiri, 2012). Kuncinya adalah pada integritas dalam merawat tuah dan menegakkan marwah (harga diri). Instrumennya adalah prestasi melalui komunikasi yang baik.

Ungkapan puitis filsuf Romawi Cicero, pasca terbunuhnya penguasa Romawi Kuno Julius Caesar oleh para senator empat puluh tahun Sebelum Masehi, yang kemudian menimbulkan perang saudara dalam masyarakat Romawi, menarik untuk dikenang.  ”Oblivione sempiterna delendam”, ujar Cicero. Biarlah kepedihan peristiwa masa lalu yang kelam itu tenggelam dalam tidurnya yang abadi. *** 

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, penulis, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

#Opini Dr. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index