TINDAKAN pergi terbang keluar Indonesia pada malam menjelang atau sehari sebelum pelantikan presiden baru, bagi sebagian orang mungkin akan dianggap tindakan tidak berarti, dianggap kekanak-kanakan, atau dianggap tindakan tidak populer lainnya/
Bahkan mungkin ada yang menyebutnya baper atau tidak mau move-on. Biarlah itu menjadi penilaian masing-masing.
Lalu ketika saya memilih untuk sengaja tidak mau move-on memangnya ada aturan atau ketentuan yg dilanggar? kan tidak, dan kembali ini adalah soal pilihan sikap.
Akhir-akhir ini kita disuguhi atraksi dan tontonan terkait rencana pemanggilan para calon menteri atau pun calon wakil menteri dan kepala badan.
Bisa ditebak, ini bukanlah seperti yang digembar-gemborkan sebelum ini tentang pembentukan Zaken Kabinet, dan dari kenyataan beberapa sosok dan nama yang muncul ke permukaan, tidaklah layak disebut Zaken Kabinet, tapi lebih tepat sebagai Akomodatif Kabinet/ Kabinet yang ditujukan untuk mengakomodir kepentingan banyak pihak.
Dengan jumlah anggota kabinet yang bakal lebih dari 100 orang (calon menteri dan wakil menteri plus kepala badan), ini akan menjadi kabinet dengan jumlah terbanyak sepanjang sejarah, lebih pantas disebut sebagai Kabinet Gemoy.
Jika kita mau kritisi dari sisi bakal bengkaknya anggaran APBN untuk menunjang Kabinet Gemoy ini, setidaknya biaya operasional menteri dan wakil menteri, termasuk anggaran ‘taktis’ yang menyertainya seperti ketersediaan driver + kendaraan operasional dengan plat RI sekian, tentunya plus anggaran BBM-nya, belum lagi anggaran perumahan, baik dalam bentuk pengadaan rumah dinas maupun biaya operasinal setara penyediaan rumah dinas.
Membayangkan itu semua, betul sungguh memprihatinkan.***