DAWAI

DAWAI

DENTING dawai itu mulai terdengar samar, sayup-sayup sampai. Wahai dawaiku, jadilah kuat dan nyanyikan selalu irama jiwa. Tembuslah langit, bawalah pesan atas namamu sendiri.

Inilah saat dimana aku sudah harus menyampaikan segalanya, ketika peristiwa itu seakan terulang dan nyaris tak kuat untuk dipikul dengan kedua bahu yang sejak dulu kubanggakan pada setiap orang.

Genap 33 tahun lalu, sebuah perjalanan dimulai. Tak ada tujuan istimewa ketika itu, kecuali satu: Ingin seperti orang-orang kebanyakan. Membawa sebatang badan, yang aku sendiri tak mengerti "mau apa dan kemana sebenarnya aku".

Tak ada perasaan atau beban apapun ketika aku berpamitan dengan Mak, yang saat itu tengah mencuci piring di belakang, persis di depan bibir sumur.

"Mak aku mau merantau". Hanya itu kalimat yang kuucapkan, lalu berlalu pergi ke arah jalan raya yang jaraknya sekitar 1 kilo dari rumah.

Meskipun aku tahu persis bahwa Mak menangis ketika itu, tak ada yang mampu menahanku untuk pergi. Mungkin karena terharu dan sedih, Mak juga tak mengucapkan apa-apa. Memalingkan muka sambil berurai air mata, tak kuasa melihat kepergian anaknya.

Saat aku pergi, Abah belum pulang dari kantor. Abah adalah Tentara yang selalu terlihat gagah dengan segala kelengkapan pakaian dinasnya. Wibawanya terpancar jelas bagi kami anak-anaknya. Kuabaikan pula ketika itu, tak ada perasaan sama sekali bahwa Abah pasti akan sangat khawatir denganku yang pergi tanpa menemuinya terlebih dahulu. Aku tahu, kalau pamit, pasti akan dilarang.

Dalam pikiranku ketika itu, bermain berbagai hal tentang dunia luar yang pastilah akan sangat mudah kuarungi. Akan sangat berbeda dengan di rumah atau dikampungu yang serba terbatas. Bayangkan, jangan harap bisa membeli baju baru jika tidak pada Hari Raya.

Tak kuhiraukan dikantongku tak sepeserpun uang. Aku tak kehabisan akal, sang supir pasti akan membiarkan menumpang, selama mau membantunya mengurus muatan atau hal-hal yang lain yang terjadi di jalanan.

o0o

Kampungku berada nun jauh di sana. Masih di pulau sumatera. Namun indahnya luar biasa, karena berada di daerah pesisir pantai, tempat dimana ketika aku kecil sering mencuri-curi waktu untuk mandi sambil mencari buah kelapa untuk dijual.

Aku merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara. Kami tidak kekurangan makan, karena Abah sebagai tentara dapat jatah beras setiap bulannya. Untuk sayur, orang kampung tidak pernah mengeluh, rebung bambu melimpah, pakis juga, demikian sayuran lainnya.

Mau makan ikan, tinggal pergi memancing atau menjala ke sungai dan ke laut, atau bisa nangguk udang sungai.

Bumbu lainnya, Mak sudah punya lahan kosong yang lumayan luas dan ditanami singkong (kami menyebutnya bekayu), cabe, lepang untuk sebutan mentimun bahkan ada 'perenggi', sejenis labu kuning yang sering kali dibuat kolak.

Abah juga rajin beternak ayam kampung, yang jumlahnya ratusan ekor. Pisang jangan tanya, apalagi pisang 'Rawas' atau pisang yang manisnya luar biasa dengan biji besar-besar di dalamnya.

Dengan berbagai keistimewaan itu, aku tetap tidak bisa menerima. Aku ingin lebih, ingin punya baju seperti anak-anak orang berada di kampung, dan punya celana panjang! Ingin makan di piring keramik atau kaca dengan sendok dan garpu, makan mie instan sepuasnya dan berbagai keinginan lainnya.

Setiap kali berjalan ke sekolah yang jaraknya hampir 3 atau 4 kiloan dari rumah, yang terpikir bukan bagaimana pelajaran, melainkan bagaimana supaya segera lepas dan pergi merantau.

Setelah menempuh perjalanan menumpang sebuah truk, aku sampai di kota yang dituju. Meski sesungguhnya tak ada tujuan pasti mau bekerja apa, aku sangat puas. Bertahun lamanya aku selalu tak menghiraukan lapar, tak menghiraukan kekhawatiran orangtua dan saudara lainnya, tak hirau dengan cemooh orang karena badanku terbilang ceking. Kurus, hitam dan tentu saja berbentuk tiang listrik.

Dari kota satu ke kota lainnya, muaranya adalah kota ini. Kota yang telah memberikan segalanya kepadaku dan keluarga sejak puluhan tahun lalu.

Kondisi yang sudah berangsur normal, membuat hubunganku dengan keluarga membaik. Tak bisa kupungkiri, bahwa sesungguhnya tiang cinta yang demikian kokoh itu ada di rumah, rumah tua yang dibangun sendiri oleh Abah dan Mak dengan jemarinya.

Tak pernah Mak berkata bahwa ini bukan rumahmu, tak sekalipun Abah mau menyerah untuk membiayai dan memberi makan kami 7 bersaudara, walau itu seadanya.

Mak dan Abah memang sudah berpulang ke Rahmatullah (Al Fatihah). Namun tiang kokoh itu tak pernah berhenti memberikan kasih sayang. Ada dahaga yang terpuaskan ketika berteduh di dalamnya, ada saudara yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan dukungan.

Suasana tawa itu, tak mungkin kembali terulang. Namun yang aku catat adalah, betapa aku telah memberikan beban bahkan pernah membuatnya meneteskan airmata, tanpa menyadari, sama sekali tidak menyadari, bahwa itulah sesungguhnya 'Malaikat' hidupku, tempat dimana Tuhan menitipkan aku kepada orang yang sejak aku dilahirkan menyebutnya sebagai Mak dan Abah.

Sederas apapun air mataku, takkan mungkin mampu menghilangkan rasa bersalah yang pernah aku lakukan. Sayangnya, aku menyadari itu, ketika keduanya telah tiada dan aku merasakan sendiri bagaimana peristiwa itu seakan terulang kembali dan menimpaku.

Orangtua, pada hakikatnya tidak pernah menuntut yang berlebihan apalagi akan menyengsarakan anak-anaknya. Yang mereka mau adalah bagaimananya anaknya tersenyum, tanpa ada airmata, meski itu berat sekalipun.

Dawai itu, istilahku menyebutnya, memang sudah beranjak dewasa. Memberikan pelajaran kepadaku bagaimana mendengar, merasakan dan bahkan mengalah untuk segala hal.

Dengan kondisiku yang saat ini, aku yakin ada impian yang hendak diraihnya. Tapi tidak ingin atau tidak tega menyampaikan, karena 'menurutnya' pastilah aku tidak akan setuju, bahkan bisa tidak mampu dan membuatnya sekeras baja mengarungi dunia. Bisa jadi juga seperti aku dulu, ingin punya baju atau celana panjang sebagaimana teman-temannya di luar sana.

Tapi lebih dari itu, mungkin juga ini adalah janjianku, takkan pernah berubah meskipun dada terasa selalu sesak dengan rasa iba.

Marhaban ya Ramadhan 1445 H/2024 M. Dawaiku, maafkan segala kekurangan dan kekhilafan. Cari dan temukan pesanmu sendiri, dengan doa kami.***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index