Dr. H. Saidul Amin, MM: Semoga Chaidir di Hati Kita Semua

Dr. H. Saidul Amin, MM, Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (Umri).

PEKANBARU- Artikel Biduk Lalu Kiambang Bertaut, ditulis oleh Dr. drh. Chaidir, MM. Merupakan peribahasa Melayu yang biasanya dipergunakan sebagai perumpaan telah terjadi perselisihan sesama saudara.

Pihak lain tak perlu ikut. Sebab, begitu permasalahan selesai, yang keruh sudah dijernihkan, yang kusut sudah diungkai, rambut sudah ditarik dan tepung tidak berserak, maka antara saudara yang bertengkar akan kembali bersatu.

Kehidupan manusia agaknya sepantun kiambang, sejenis tumbuhan air mengapung pada permukaan air yang tak mengalir. Tanaman itu berkembang biak cepat menutupi permukaan air dan memberi kehidupan sebagai tempat persembunyian ikan (AmiraRiau.com, 14 April 2023).

Artikel yang ditulis Chaidir tersebut, kemudian mendapat tanggapan luar biasa. Salah satunya dari Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), Dr. H. Saidul Amin, MA.

Dalam tulisannya, Dr. Saidul Amin, menyampaikan tak kalah bermakna; Ada seorang Nabi yang arif lagi bestari. Cendikia dan bijaksana. Nabi Chaidir namanya.

Menurut beberapa kitab tafsir, Chaidir itu gelar, nama aslinya Balya bin Malkan bin Faligh bin Abir bin Salikh, bin Arfakhsad bin Sam bin Nuh.

Lalu mengapa diberi gelar Chaidir? Ternyata Chaidir itu berasal dari kata Chadrun artinya hijau.

Konon kabarnya, setiap Nabi Balya berjalan, maka padang pasir yang dipijaknya berubah menjadi padang rumput yang hijau.

Menurut Hamka itu masih kata kuasa. Sebab sesungguhnya hijau itu lambang kedamaian dan keharmonisan. Artinya, dimanapun Nabi Balya berada, maka di situ ada bahagia, wujud sejahtera dan hilang semua sengketa.

Sejak itulah Nabi Balya lebih dikenal dengan sebutan Chaidir, karena selalu menyejukan. Mengurai yang kusut, menjernihkan yang keruh, merekat yang retak.

Bahkan, kata Hamka, Nabi Chaidir mungkin sudah tiada, tapi sosok Chaidir akan selalu ada. Semoga Chaidir, penulis artikel di atas adalah Chaidir di hati kita semua.***

gambar