Lidah dan Jari Mengoyak Kehormatan

Lidah dan Jari Mengoyak Kehormatan

Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*

Di masa lalu, kehormatan manusia sering dirusak oleh pedang dan fitnah di pasar. Kini, kehormatan bisa hancur hanya oleh lidah yang tak dijaga dan jari yang tak terkendali.

Satu ucapan di ruang nyata, satu ketikan di dunia maya itu cukup untuk menelanjangi martabat seseorang tanpa ampun.

Perkataan dan tulisan bisa lebih tajam dari senjata. Ia tak meneteskan darah, tapi mengoyak hati dan menghancurkan nama baik. Sekali kehormatan tercabik, sulit dijahit kembali. Dan anehnya, pelakunya sering merasa benar, bahkan bangga, dengan dalih menyampaikan kebenaran.

Padahal Rasulullah SAW bersabda:“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, diam bisa menjadi ibadah, bila kata justru menimbulkan luka.

Dahulu, dosa lidah hanya menjangkau telinga yang mendengar. Sekarang, dosa jari menjangkau dunia yang membaca. Satu unggahan di media sosial bisa menelanjangi kehormatan seseorang di hadapan jutaan orang tanpa sempat memberi klarifikasi.

Inilah tragedi zaman modern dimana manusia kehilangan rasa malu digital. Mengumbar aib menjadi hiburan, mempermalukan orang menjadi kebanggaan, dan fitnah dianggap konten. Padahal setiap jari yang menulis keburukan akan menjadi saksi di hadapan Allah kelak.

Dalam pandangan etika klasik, ucapan adalah cermin dari jiwa. Orang yang mudah membuka aib sesungguhnya sedang menelanjangi dirinya sendiri yang menunjukkan betapa hatinya telah kehilangan empati. Filsuf Yunani, Socrates, pernah berpesan:“Sebelum berbicara, tanyakan tiga hal: Apakah itu benar? Apakah itu baik? Apakah itu perlu?”

Jika tidak memenuhi ketiganya, maka diam adalah kebajikan.

Dan dalam pandangan Islam, ghibah dan fitnah bukan hanya salah di dunia, tapi juga menjadi penghapus amal kebaikan di akhirat.

Menjaga lidah dan jari bukan berarti membungkam kebenaran, tapi menyalurkan kebenaran dengan adab dan kasih. Kritik boleh, tapi jangan menghinakan. Menegur boleh, tapi jangan mempermalukan.

Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa menasihati saudaranya secara rahasia, maka ia benar-benar menasihatinya. Barang siapa menasihatinya di depan umum, maka ia telah mempermalukannya.”

Kita butuh budaya menasihati dalam cinta, bukan menghakimi dalam amarah. Karena kehormatan manusia adalah bagian dari kemuliaan yang dijaga oleh agama dan nurani.

Zaman boleh berubah, tapi tanggung jawab moral tak pernah bergeser. Di balik setiap kata ada dosa atau pahala; di balik setiap jari ada jejak yang kekal.
Sebelum berbicara, sebelum mengetik, sebelum membagikan maka bertanyalah pada hati: Apakah ini akan memperbaiki, atau justru menghancurkan?

Karena sesungguhnya, kehormatan manusia lebih berharga daripada viralitas sesaat. Dan siapa yang menjaga lidah serta jarinya, telah menjaga kehormatan dirinya dan saudaranya. Hari ini kehormatan tak lagi dicabik pedang, tapi oleh jari yang tak dijaga.

(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis; Dai, Akademisi, Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik).

#Opini Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index