
Jambi (AmiraRiau.com) – Konflik kekerasan yang kerap dihadapi masyarakat adat selama ini, terutama terkait perampasan hak wilayah adat, memberikan kesimpulan bahwa akibat masuknya investasi ke sebuah wilayah adat telah menciptakan praktik abai dari penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun senyatanya, masyarakat adat seringkali berteriak lantang terhadap ketidak harmonisan perundang-undangan yang ada.
“Pemujaan terhadap investasi skala besar yang terjadi selama ini membuat masyarakat adat dirugikan,” kata Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jambi, Datuk Usman Gumanti, Rabu (17/3).
Sebab, akibat terlalu mementingkan investasi, wilayah-wilayah adat digunakan dan diberikan izin untuk investasi di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.
“Faktanya, tanpa investasi pun masyarakatnya adat mampu bertahan dan memiliki pendapatan yang layak,” katanya.
Fakta ini didapat setelah AMAN Jambi melakukan riset ke beberapa komunitas masyarakat adat. Terutama tentang wilayah adat dan akses terhadap lahan.
“Kedaulatan terhadap wilayah adat, dan mudahnya mengakses lahan dapat meminimalisir ketergantungan masyarakat adat terhadap investasi yang akan meringsek wilayah mereka,” katanya.
Penguatan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat, katanya, dapat membuat mereka mencapai kesetaraan di bidang ekonomi.
Seiring perjalanan waktu, sejak DPR RI periode 2009 hingga 2014, hingga periode 2019 hingga 2024, keleluasaan masyarakat adat masih berada di bawah Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Harapan kami, RUU dan disahkan menjadi Undang-Undang Masyarakat Adat,” katanya.
Undang-Undang Masyarakat Adat ini, menurutnya, dapat melindungi wilayah adat dari kepentingan luar, terutama investasi, yang kerap berujung kepada perampasan wilayah adat mereka.
Ia mengatakan, dua kabupaten di Provinsi Jambi tengah menunggu pengesahan Ranperda MHA di Kabupaten Sarolangun, dan Ranperda Kelembagaan Adat di Kabupaten Tebo.
Terkait persoalan yang sering terjadi di lapangan, ia menyatakan sangat tidak mudah bagi masyarakat umum untuk mengklaim sebuah wilayah sebagai wilayah adat mereka. Sebab, ada runutan dan sejarah yang jelas terkait terbentuknya sebuah masyarakat adat dan wilayah adatnya.
“Ini untuk mencegah benturan yang bakal terjadi antar masyarakat. Dan, agar tidak dengan mudah menyatakan sebagai masyarakat adat, yang tujuannya malah tidak sesuai dengan kearifan tradisionalnya. *

