Oleh Hasrul Sani Siregar, MA Alumni IKMAS, UKM, Malaysia
Orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke Semenanjung Malaya (baca: Malaysia) umumnya, mendiami daerah-daerah selat yaitu Malaka (Malacca) dan Pulau Penang. Diperkirakan 2000 ribu orang-orang Tionghoa dari Tanah Besar Cina (RRC) telah berimigrasi ke Malaka dan 6000 ribu ke Penang. Oleh yang demikian, tingkat populasi di ke-2 negara bagian tersebut, meningkat dengan pesat. 60% hingga 70% mayoritas penduduk di kedua negara bagian Malaysia adalah etnis Tionghoa. Kajian Hanafi Dollah (1986), menyebutkan bahwa, etnis Tionghoa yang ada di negara bagian Kelantan dan Terengganu sangat sukar beradaptasi dan berasimilasi dengan masyarakat tempatan khususnya dari melayu berbanding dengan etnis Tionghoa Malaka dan Pulau Penang. Di Kelantan dan Terengganu, istilah Tionghoa peranakan disebut dengan istilah ”Tionghoa Kampung” (Villages Chinese).Dan jika berkunjung ke bandar Malaka, dapat dilihat dan saksikan tradisi kuliner dan tradisi kebudayaan yang dapat beradaptasi dengan budaya lokal (tempatan). Masyarakat melayu dan tionghoa dapat saling berbaur satu dengan yang lainnya, tanpa adanya perbedaan dan negara menyatukan keduanya. Komunitas Tionghoa peranakan di Malaka dikenal memelihara tradisi kuliner yang menggabungkan seni masak Tionghoa, Melayu, India yang menjadi salah satu kuliner terkenal di Malaka khususnya dan Malaysia umumnya.
Orang China (Chinese) sejak abad ke 19 telah berimigrasi secara besar-besaran ke Semenanjung Malaya (baca : Malaysia) yang mana, Semenanjung Malaya menjanjikan harapan bagi orang-orang Tionghoa tersebut untuk berimigrasi. Semenanjung Malaya ketika itu, kaya akan sumber daya alam berupa timah.
Awal mulanya, orang-orang Tionghoa tersebut merupakan pekerja kontrak dan setelah kontrak mereka selesai, mereka kembali ke negara asalnya yaitu Republik Rakyat Cina (RRC). Namun, setelah ditemukannya sumber daya alam berupa, Timah di Semenanjung Malaya, imigrasi secara besar-besaran mulai dilakukan secara bergelombang. Kontak dagang antara orang-orang Tionghoa dan Melayu pada abad ke 19 tersebut, diyakini sebagai latar belakang mulainya imigrasi orang-orang Tionghoa dari tanah besar cina (RRC) ke Semenanjung Malaya. Selain dasar mencari sumber daya alam, faktor yang sangat signifikan mendorong mereka berimigrasi adalah kondisi kehidupan yang sangat miskin.
Pemerintahan (Dinasti) Manchu (1644-1911) ketika itu sangat korup dan tidak efisien dalam mengelola pemerintahan. Lahan pekerjaan bagi penduduk setempat sangat langka. Banyak rakyat khususnya petani dieksploitasi. Pemberontakan terhadap pemerintah telah terjadi pada tahun 1850 khususnya di wilayah propinsi selatan Republik Rakyat Cina tersebut. Akibat dari masalah tersebut, banyak rakyatnya melarikan diri ke Semenanjung Malaya untuk menghindari perlakuan kasar dari pemerintahan Manchu. Akibat kemiskinan itu pula, pemerintah sukar untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya, yang mana jumlah populasi penduduk semakin meningkat yang tidak diikuti oleh ketersediaan lahan pekerjaan yang memadai. Akibat dari semua itu, pengangguran semakin menjadi permasalahan yang cukup serius. Faktor lain, berupa bencana alam sering pula melanda Tanah Besar Cina (RRC) yang semakin menimbulkan masalah seperti wabah penyakit dan kurangnya bahan sandang dan pangan.
Sepanjang abad ke 18 hingga abad ke-19 Orang-orang Cina yang berasal dari Tanah Besar Cina (The Republic People of China) yang berimigrasi ke Semenanjung Malaya lebih banyak memilih dan mendiami Malaka (Malacca), Penang dan Tumasik (Singapura). Sebagai dampaknya, orang-orang Cina Perantauan (Overseas Chinese) tersebut berasimilasi dan bersosialisasi serta menjalin kontak dengan penduduk setempat. Kesulitan dalam masalah kewarganegaraan yang mana, Republik Rakyat Cina (RRC) yang menganut system dwi kewarganegaraan (Ius Sanguinis) telah menjadi masalah bagi kaum pria untuk membawa istri mereka ke Semenanjung Malaya.
Oleh Negara RRC, semua orang Cina yang berada di luar negaranya dianggap sebagai warga negaranya. Akibatnya, banyak dari kaum pria tersebut mengawini perempuan Melayu setempat. Cucu dan keturunan mereka telah mewariskan sejarah di Tanah Semenanjung Malaya. Oleh mereka hal ini disebut dengan “Straits Chinese“ (selat bagi orang-orang Cina”. Tionghoa peranakan di Semenanjung Malaya ini lebih dikenal dengan sebutan “Babas”dan “Nonyas”. Sebutan “Babas” ini, lebih digunakan untuk pihak laki-laki, sedangkan perempuannya disebut dengan “Nonyas”. Orang-orang Cina peranakan ini dalam kesehariannya juga mencoba berbicara dalam bahasa melayu, makan dengan menu Melayu serta memakai pakaian serba melayu. Bagi mereka, asimilasinya secara total masuk ke dalam budaya dan kultur melayu.***