Begitulah kira-kira, ketika membaca sebuah peristiwa komunikasi yang viral di media sepekan terakhir ini, sampai ke negeri seberang, Malaysia dan bahkan dikomentari oleh PM Malayisa, Anwar Ibrahim dalam sebuah pidatonya. Kita bersimpati terhadap Sunhaji, si pejaja teh es di Magelang dan Gus Miftah Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembina Sarana Keagamaan. Kedua insan ini ditakdirkan, Si penjaja es menuai simpati, sebaliknya Gus Miftah menuai caci-maki.
- Baca Juga Bahasa Melayu sebagai Bahasa ASEAN
Hukum komunikasi itu ibarat pedang bermata dua. Sebelah mata pedang bisa digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan keinginan atau pesan guna tercapainya tujuan dilakukannya komunikasi; bisa juga untuk bedah masalah atau bedah kasu guna mencari jalan keluar terbaik, tapi sebelah mata pedangnya bisa melukai si pemilik pedang atau orang lain bila pedang tersebut salah atau gegabah digunakan.
Dalam proses komunikasi yang paling sederhana, buruknya komunikasi bisa disebabkan oleh komunikator yang kurang memahami prinsip-prinsip komunikasi. Sang komunikator (penyampai pesan), misalnya, kurang optimal melakukan encoding terhadap pesan yang akan disampaikannya, maksudnya, kurang mampu mengubah pesan menjadi simbol atau bahasa yang mudah dipahami audiens (komunikan). Atau bisa juga karena pesan kurang terkomunikasikan dengan baik karena faktor lemahnya kemampuan public speaking sang komunikator. Atau bisa karena komunikan kurang paham akan pesan yang dikomunikasikan (kurang mampu melakukan decoding).
Bila komunikasi yang buruk itu berlangsung dalam upaya membangun sebuah kompromi, toleransi, atau kesepahaman seiya sekata seayun selangkah, semangat persatuan dalam sebuah masyarakat yang berbilang kaum, masalahnya bisa jadi runyam. Komunikasi yang buruk tak menghasilkan moderasi dan toleransi, yang terjadi justru sebaliknya: konflik.
Penyebab konflik dalam masyarakat berbilang kaum, seperti ditulis Nieke (2011) dalam jurnal Manajemen dan Resolusi Konflik dalam Masyarakat, terdapat 4 faktor, yakni perbedaan individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan akibat terjadinya perubahan nilai yang cepat dan mendadak .
Penyebab konflik tersebut bila diurai lebih jauh, seperti disebut beberapa pengamat, sekurang-kurang disebabkan oleh sepuluh indikator, yaitu perbedaan asumsi, minimnya rasa empati, dorongan kekuasaan, ketidakpedulian, kepentingan pribadi, minim toleransi, prasangka, tak sejalannya kebutuhan, gagal kompromi, dan komunikasi yang buruk. Dari sepuluh indikator tersebut, rangking pertama akar masalah penyebab konflik adalah buruknya komunikasi.
Komunikasi yang buruk berawal dari terjadinya perbedaan persepsi, atau bahkan tidak hanya perbedaan tapi mispersepsi. Setiap individu dalam masyarakat yang berbilang kaum seringkali memiliki perbedaan dalam pendirian dan perasaan. Ketika berinteraksi dalam masyarakat, seseorang tidak selalu sependapat atau sejalan dengan kelompoknya. Dalam filsafat komunikasi orang Melayu (Venus, 2015) pikiran dan pandangan yang berbeda-beda itu dikelompokkan dalam persepsi. “Rambut sama-sama hitam pendapat berlain-lainan”, atau dalam ungkapan lain, “dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu”. Mispersepsi menimbulkan misinterpretasi, misinterpretasi menimbulkan miskomunikasi, dan miskomunikasi menyebabkan misunderstasing (salah paham - konflik).
Begitulah dahsyatnya eksistensi makhluk yang berama komunikasi itu. Pemenuhan kebutuhan sosial sebagai makhluk sosial, hanya dapat dilakukan melalui interaksi sosial yang selalu melibatkan kontak dan komunikasi dengan orang lain. Maka, komunikasi berperan penting dalam kehidupan sosial manusia, bila bahasa sebagai komponennya digunakan dengan baik. Bahasa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan (Hymes, pakar linguistik Amerika).
Ada banyak nasehat bagaimana harusnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi di tengah masyarakat berbilang kaum, salah satu diantaranya adalah berbicaralah secara berhati-hati, tepat dan mengikuti alur, jangan tergesa-gesa dan jangan sombong. Pujangga Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas mengingatkan, “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa, lihatlah pada budi bahasa”. Dalam ungkapan umum kita sering menyebut: “Bahasa menunjukkan bangsa”. Maknanya, penggunaan bahasa dalam berkomunikasi, menunjukkan apakah kita orang yang memiliki harga diri, memiliki marwah, orang-orang terhormat atau tidak.
Pakar komunikasi internasional Dale Carnegie nampaknya sepakat dengan Raja Ali Haji. “You are judge by your speech everyday”. Anda akan dinilai dari cara anda berbicara setiap hari. Cara Anda berbicara, kata Carnegie, akan menunjukkan apakah anda orang terpelajar atau tidak terpelajar. Hati-hatilah dalam berkomunikasi “mulutmu harimaumu”.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)