No Viral No Justice

Oleh Chaidir

 JARGON “No Viral No Justice” sepertinya sudah dipahami oleh seluruh makhluk pemikir yang tinggal di universe ini. Makna ringkasnya: tak viral tak ada keadilan. Sebuah kasus seberat apapun, kalau tak viral di media sosial, kalau tak diributkan oleh netizen di medsos, kasusnya akan didiamkan dan kemudian dilupakan. Namun sudah menjadi rahasia umum, calon TSK-nya akan bernasib sama dengan sapi perahan sepanjang hidupnya.

Istilah no viral no justice adalah bentuk protes atau kritik tajam terhadap aparat penegak hukum (APH) yang belum mengusut kasus tertentu sebagaimana mestinya sebelum kasus tersebut viral. Fenomena no viral no justice mencerminkan keresahan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Umum diketahui, kasus-kasus yang viral lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang tidak viral di medsos. Maka kemudian muncul istilah penegakan hukum tebang pilih atau pedang hukum yang tajam ke bawah majal ke atas.

Masyarakat semakin memahami bahwa keadilan adalah hak yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat apalagi disebuah negeri yang disebut negara hukum dan sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Keadilan merupakan nilai-nilai luhur seperti disebut dalam dasar negara kita Pancasila. Sila ke-2 menyebut, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan yang adil dan kemanusiaan yang beradab, mestinya mudah dipahami oleh masyarakat, para pemimpin, para penyelenggara negara, dan APH. Demikian pula Sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, mudah dipahami dan dihayati. Kedua sila tersebut diselimuti oleh nilai ketuhanan, rasa persatuan senasib sepenanggungan dan nilai demokrasi yang kita anut. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dan merupakan falsafah negara kita, Pancasila.

Karena kekuasaan cenderung disalahgunakan, maka kekuasaan negara dibagi dalam tiga pilar kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif (Trias Politica – Montesquieu). Indonesia tidak menyebut pemisahan kekuasaan tapi pembagian kekuasaan.  Ada mekanisme check and balance untuk menyeimbangkan kekuasaan guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan menjamin keadilan dan supremasi hukum.

Namun demikian, kendati sudah ada mekanisme check and balance, hampir setiap hari kita membaca berita tentang penyalahgunaan kekuasaan (korupsi, kolusi, intimidasi, intervensi dan sebagainya). Mekanisme saling kontrol antar tiga pilar kekuasaan negara itu, rupanya tidak cukup. Maka dalam situasi dan kondisi seperti ini, kebebasan pers memainkan peran yang sangat besar dalam mengawal keterbukaan informasi sehingga masyarakat tak dirugikan akibat penyalahgunaan kekuasaan melalui praktik kongkalikong (tidak jujur, akal busuk), cincai-cincai, TST (tahu sama tahu), dan sebagainya.

Sudah sejak abad ke-7 John Milton (1644) menyebut bahwa kebenaran hanya bisa muncul dari kebebasan. Milton melihat kebebasan pers sebagai norma kultural yang menjamin salah satu dimensi hidup manusia, yaitu hak asasi untuk menyatakan pendapat secara bebas. Kebebasan pers menjadi cermin demokrasi dan kebabasan individu. Bahkan Napoleon Bonaparte (1790) mengakui, “Pena wartawan lebih tajam daripada sebilah pedang, karena itu saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet”, katanya.

Melalui kebebasan pers masyarakat dapat mengetahui dan mengawasi kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat itu sendiri.  Presiden AS ke-3 Thomas Jefferson menambah keyakinan betapa pentingnya kebebasan pers. “Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers”, kata Thomas Jefferson. Karena itu pers  dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, di samping pilar kekuasaan eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Pers sebagai pilar keempat ini disebut pertama kali oleh sejarawan Skotlandia Thomas Carlyle (1840).

Kekuasaan keterbukaan pers kini ditambah dengan keperkasaan media sosial. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Niken Widiastuti mengatakan media sosial merupakan pilar kelima demokrasi, setelah pers yang disebut-sebut pilar keempat sebagai penyeimbang eksekutif, legislatif dan yudikatif (antaranews.com 17 Desember 2016). Kehadiran media sosial membawa babak baru. Dengan modal gawai, internet, dan akun media sosial, setiap pihak dapat mengakses dan membagikan informasi. Bahkan media sosial telah menjadi tempat untuk mengangkat suatu isu, mengawasi pejabat negara, hingga menuntut keadilan. Demikian perkasanya media sosial sehingga dijuluki sebagai pilar kelima demokrasi. Tak cukup empat pilar demokrasi menegakkan keadilan, kini ditambah dengan pilar kelima.

Dalam perkembangan media sosial, kita mengenal keperkasaan para netizen. Para pengguna internet di Indonesia yang dikenal dengan sebutan netizen sangat kritis dalam membela kebenaran dan keadilan. Isu ketidakadilan yang diviralkan melalui jaringan netizen, akan membuat APH kalangkabut seperti diserang lebah satu pohon sialang. Tegakkan keadilan atau APH akan jadi bulan-bulanan. Aksi netizen menegakkan hukum dengan memviralkan atau meributkan sebuah kasus diberi apresiasi oleh masyarakat: no viral no justice. Netizen membuat pilar kelima demokrasi tambah menggetarkan. Ingat, revolusi di Timur Tengah yang dikenal sebagai Arab Spring pada tahun 2011 yang menumbangkan penguasa korup di Tunisia, Aljazair, Lybia dan Mesir, berawal dari kekompakan netizen.

Dalam kearifan lokal budaya Melayu, dienal jargon, “raja alim raja disembah raja zalim raja disanggah”. Tunjuk ajar Melayu banyak memuat nilai-nilai yang menjunjung tinggi keutamaan dan kemuliaan keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran adalah kunci utama dalam menegakkan marwah, mengangkat harkat dan martabat, tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karenanya pemimpin yang dianggap tidak adil dan menyimpang dari kebenaran, wajib diingatkan, disanggah, atau diganti. Orang Melayu berani mati untuk membela keadilan dan kebenaran. Orang tua-tua mengatakan, “takut karena salah, berani karena benar.” Agaknya akan segera terbentuk Laskar Melayu pembela keadilan, bahu-membahu bersama netizen memainkan gawainya dengan lincah membela keadilan. No viral no justice. Hidup netizen, pilar kelima demokrasi, jangan pernah menyerah jangan pernah lelah.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

gambar