oleh yadi ismail
AGAK mengejutkan ketika mengetahui fakta bahwa keladi, yang termasuk dalam suku talas-talasan, mempunyai puluhan jenis. Kelebihannya, rata-rata berpenampilan menarik dan mampu menghipnotis sehingga terpesona lalu menimbulkan rasa kuat untuk memiliki.
Batang dan daun yang memiliki corak, menambah daya pesona itu. Kata orang-orang, susah berpaling jika sudah tergoda.
Benar saja, ketika pandemi Covid-19, tren akan tanaman hias mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal itu karena adanya pembatasan aktivitas luar rumah.
Dengan terbatasnya kegiatan, menjadikan sebagian besar orang memutuskan untuk mencari kesibukan di sekitar rumah. Salah satu pilihannya, yaitu berkebun. Tumbuhan yang menjadi pilihan untuk ditanam adalah tanaman hias. Jenisnya yang sangat beragam membuat tanaman hias sangat digemari oleh banyak orang. Salah satu tanaman hias favoritnya yakni keladi.
Keladi merupakan jenis tanaman yang tergolong kedalam suku talas-talasan atau genus caladium. Tumbuhan ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai tanaman hias, sebab tanaman ini mempunyai motif, dan warna yang sangat cantik.
Sebut saja, Bunga Keladi Gingerland, Bunga Keladi White Queen, Bunga Keladi Freckles, Bunga Keladi Thai Beauty, Bunga Keladi Candidum, Keladi Tengkorak, dan lain sebagainya.
Bunga Keladi Gingerland, memiliki daun berbentuk hati berukuran kecil hingga sedang, daunnya berwarna putih lembut dengan pinggiran hijau tua dilengkapi dengan corak bintik yang berwarna merah.
Keladi jenis ini termasuk dalam salah satu tanaman keladi yang paling indah, tidak heran jika tanaman ini sangat cocok digunakan sebagai pelengkap dekorasi interior.
Yang lain juga memiliki pesona sendiri sehingga amat digandrungi. Luar biasa!
Saat masih di kampung, tahunya keladi, ya batangnya untuk sayur saja atau umbinya direbus atau digoreng yang disajikan menemani kopi saat santai sore-sore.
Tapi tidak semua orang cukup ahli untuk menanam atau mengolahnya menjadi makanan, sebab bisa menimbulkan gatal bila terkena getahnya.
Namun sejak beberapa waktu belakangan, makin dipahami bahwa keladi itu banyak jenisnya. Beda jauh sekali dengan pemahaman ketika puluhan tahun lalu di kampung nun jauh di sana. Ada keladi yang berparas cantik, berpenampilan menarik bahkan gagah dan ternyata ada pula yang bisa dijadikan penganan istimewa. Pokoknya patenlah!
Saat ini, bukan tidak lagi trend. Namun banyak yang sudah mampu mengembangkan sendiri sehingga sudah jarang terlihat orang-orang berjubel membeli bunga keladi di pinggir jalanan.
Masyarakat sudah mengenal lebih jauh sehingga jika ingin dikembangkan cukup menunggu hingga tunas baru muncul. Potong dan pindahkan ke wadah yang diinginkan, jadi.
Hasilnya, memang rata-rata pada rumah warga ada bunga keladi.
Fenomena ini disampaikan, bukan karena ada kepentingan soal keladi atau talas yang menimbulkan gatal tadi. Melainkan untuk membandingkan dengan ‘trend’ kekinian, dimana sudah semakin keras terdengar hiruk pikuk soal agenda besar di tahun 2024, yaitu Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) serta Pemilihan Presiden.
Banyak sekali bakal calon legislatif yang bermunculan, tidak saja yang lama tetapi juga wajah-wajah baru. Dengan berbagai kelebihannya, semua tentu saja menarik berkat segala corak dan warnanya. Sama seperti ketika bunga-bunga keladi tadi lagi digandrungi dan banyak dicari.
Banyak nasehat disampaikan dalam memilih bacaleg yang akan duduk sebagai wakil rakyat di DPRD nantinya.
Tapi bagi saya, pilihannya cuma mau memilih yang kita kenal atau terkenal.
Kenal, tentu saja banyak berhubungan dengan ikatan emosional satu sama lain. Kental tidaknya ikatan itu, tentu akan beriringan dengan seberapa jauh kita saling kenal, paling tidak atau yang paling ringan, bisa berkomunikasi. Tak perlu ribet meminta bantuan melalui perantara atau pihak-pihak tertentu jika ingin sekedar silahturahmi.
Sementara terkenal, ada kemungkinan komunikasinya hanya satu arah. Adalah biasa ketika seorang publik figur cukup dikenal dimana-mana, namun jangan kecil hati jika pada kenyataannya, ‘yang terkenal’ tadi tidak mengenal kita sama sekali.
Realita seperti ini, harus diakui banyak terjadi.
Oleh karenanya, jangan menyesal nanti jika salah memilih. Tak kenal, maka resikonya akan ‘gatal’, sebab jika tak tahu cara ‘mengolah’ resikonya menyakiti diri sendiri, bukan malah menikmati.
Idealnya memang kenal dan terkenal serta mampu berkomunikasi dengan baik. Selain karakternya yang tak pandang status sosial ketika bergaul, cerdas, mau berbuat adalah hal penting yang tak boleh diabaikan.
Selanjutnya, jangan salah juga. Ada diantara calon wakil rakyat ini yang sifatnya elitis. Tak mau berkeringat dan hanya mau berkomunikasi dengan kalangan-kalangan tertentu saja atau yang menurutnya kelasnya sama dengan dirinya.
Jangankan bersalaman dengan kalangan bawah, untuk sekedar berbasa basi saja, sang elitis tadi enggan. Ketemu yang kotor dikit, langsung tutup mulut dan tutup hidung.
Calon yang seperti ini sama halnya dengan keladi yang saya kenal sejak lama dulu, tidak sembarang bisa ditanam apalagi untuk dimakan. Yang bisa menjadikannya makanan, tentulah orang-orang tertentu pula. Salah olah, ya ‘gatal’ berkepanjangan.
Jika keladi yang lain, meskipun cantik dan tak pernah bosan memandangnya, tapi punya kelemahan pula, rapuh dan amat mudah terkulai layu. Harus ‘disiram’ setiap hari dan tidak boleh sembarang pegang, daunnya bisa robek dan bahkan tangkainya bisa patah. Tapi punya kelebihan, mudah dikembangbiakan dan diatur sedemikian rupa sehingga bisa menjadi lebih bernilai.
Wahai para caleg, jangan kira masyarakat sekarang ini tidak mengerti. Hitung-hitungannya sudah selesai, jadi hendaknya lebih berhati-hati. Jadilah sosok yang merakyat, mengerti keinginan rakyat dan tidak hanya muncul ketika ‘musim’ pileg tiba.
Jika selama ini rakyat diam, bukan berarti mereka berhenti berhitung dan menilai. Jadi tak perlu merayu dengan berbagai hal, apalagi yang tidak mungkin ditepati. Rakyat akan lebih suka kalau kita tampil apa adanya dan berbicara seadanya, tapi realistis.
“Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan.” – Colin Powell.**

