Oleh Chaidir
SEBAGAI bintang utama, para kepala daerah dan wakil kepala daerah mulai manggung unjuk kebolehan di wilayah kerjanya masing-masing. Bintang utama yang tampil prima akan memperoleh tepuk tangan publik bahkan mungkin standing ovation, sebaliknya bila tampil biasa-biasa saja, minim inovasi dan improvisasi, dianggap tak kompeten, akan mendapat cibiran dan jadi bulan-bulanan netizen. Itu risiko.Sebab panggung dwitunggal kepala daerah dan wakil kepala daerah itu penuh tantangan karena berada langsung di tengah masyarakat. ‘Penonton’ panggung ini sangat beraneka ragam strata sosialnya, mulai dari jurang perbedaan tingkat pendidikan, status sosial, kesenjangan ekonomi, gender, sampai pada kemajemukan identitas suku, agama, ras, dan golongan. Semua hadir dengan kepentingan dan keinginan berbeda, serta standar tingkat kepuasan yang berbeda pula.
- Baca Juga Taktik Jemput Bola
Panggung dwitunggal itu bukan panggung sandiwara kehidupan seperti teori klasik yang dikembangkan sosiolog terkenal Erving Goffman, dalam bukunya "The Presentation of Self in Everyday Life" (1959), dikenal sebagai “dramaturgi Erving Goffman.” Panggung dramaturgi Goffman terdiri dari dua panggung, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan merupakan panggung dimana bintang utama memerankan tokoh yang hebat, sementara panggung belakang merupakan kehidupan nyata sang bintang utama, wilayah terlarang untuk dimasuki secara bebas oleh orang lain.
Panggung kepala daerah bukan panggung sandiwara, tapi ‘lakon’ yang sebenarnya, bukan dibuat- buat. Tak boleh lain di depan lain di belakang. Tidak boleh ada kepura-puraan. Apa yang dilakukan oleh seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah akan meninggalkan jejak digital. Sekali saja mereka berbohong, publik tak lagi percaya, seperti dalam bidal Melayu, “sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak akan percaya.”
Di Riau, dan hampir di seluruh kabupaten dan kota, akhir-akhir ini, alam seakan ikut membentuk porsi pemberitaan media. Ada berbagai masalah, seperti banjir yang terus berulang (dan penderitaan masyarakat terdampak), persoalan sampah yang tak selesai-selesai, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, pelayanan kesehatan yang menjadi keluhan, masyarakat korban konflik lahan, penyerobotan hutang lindung, Sungai tercemar limbah, dan seterusnya. Keinginan masyarakat, masalah-masalah tersebut harus diselesaikan oleh pimpinan daerah yang baru, hari ini juga. Masyarakat yang sudah letih menunggu perbaikan kehidupan, tak mau dengar ‘makhluk’ yang bernama efisiensi atau pemangkasan anggaran. Mereka pasti berteriak, pejabat-pejabat yang main-main dengan uang rakyat, penjarakan! Pejabat yang tak kompeten, Ganti!
Kepala daerah dan wakil kepala daerah tentu ingin menyelesaikan masalah-masalah tersebut secepatnya. Tidak ada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak ingin sukses, semua ingin meninggalkan ligacy (warisan atau peninggalan) melalui kerja keras. Ini sejalan dengan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia seperti disebut McClelland (dalam Robbins, 2007), yaitu kebutuhan pencapaian prestasi (need for achievement).
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Ukuran prestasi berkaitan erat dengan tingkat kepuasan publik. Padahal secara umum masyarakat kita sedang tidak puas. Terdapat jurang menganga antara nilai harapan (ekspektasi) dengan nilai kenyataan. Maka, dari berbagai berita, secara umum kita berhadapan dengan runtuhnya kepercayaan publik. Hal itu disebabkan karena pimpinan politik dan pemerintah yang dipilih rakyat seringkali menyalahgunakan kepercayaan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust). Maka tugas kekinian yang paling berat adalah membangun kembali public trust (kepercayaan publik). Kalau digali lebih dalam, runtuhnya kepercayaan publik itu, akar masalahnya adalah pada komunikasi pemerintahan yang tidak terbangun dengan baik.
Hakikat komunikasi pemerintahan itu adalah menjamin berjalannya fungsi pemerintahan melalui keterampilan berkomunikasi, terkait kepentingan masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan hidup sebaik-baiknya dengan tidak merugikan pihak manapun (Erilana Hasan, 2005). Menurut Myers and Myers (1982) komunikasi pemerintahan merupakan elemen penting dalam organisasi pemerintah, baik untuk managing staff maupun managing people.
Managing people merupakan komunikasi eksternal organisasi, komunikasi pemerintah dengan masyarakat dan organisasi-organisasi non pemerintah. Managing staff merupakan komunikasi internal organisasi agar pegawai atau staf mengetahui dan memahami apa yang harus dikerjakan dan menjamin agar organisasi pemerintah berjalan secara efektif dan efisien.
Gencarnya pemberitaan media tentang panggung tatap-tatap muka, kunjungan-kunjungan, peninjauan-peninjauan yang dilakukan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pekan ini, dinilai penting untuk memastikan semua instrumen roda organisasi pemerintahan berfungsi dengan baik. Momen tersebut digunakan untuk sekaligus membangun komunikasi pemerintahan bertemu muka dan berdialog dengan berbagai pihak, dan juga melihat secara langsung berbagai masalah di daerahnya. Komunikasi pemerintahan yang terbangun baik akan dapat mengurangi timbulnya kecurigaan dan mencegah kesalahpahaman karena kurang atau salah informasi.
Panggung kepala daerah dalam berbagai wujud, harus efektif menjadi ajang komunikasi pemerintahan baik dalam bentuk managing staff maupun managing people guna menjawab tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik, juga untuk mendapatkan umpan balik. Komunikasi efektif berkorelasi erat dengan kepemimpinan efektif seperti disebut psikolog Henry Clay Lindgren (dalam Ulbert Silalahi, 1992), “Effective leadership means effective communication”. Kepemimpinan efektif dengan komunikasi pemerintahan efektif, merupakan syarat untuk membangun kembali kepercayaan publik (public trust). Kepercayaan publik itu sangat penting karena menyangkut harga diri (dignity) alias marwah daerah.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)