KAMPAR, AmiraRiau.com- Penanggungjawab kebun kelapa sawit PMKS di Kecamatan Kampa, Kabupaten Kampar, Cecep, menegaskan bahwa lahan perkebunannya tidak masuk dalam areal Hutan Larangan Adat Kenegerian Kampa Ghimbo Boncah Lida (Lidah).
Penegasan itu disampaikan Cecep kepada AmiraRiau.com, Kamis (13/2/2025), menanggapi dugaan bahwa perkebunan kelapa sawit PMKS berada di dalam kawasan Hutan Larangan Adat yang oleh masyarakat diberinama Ghimbo Boncah Lida.
"Lahan perkebunan kita tidak masuk dalam Ghimbo Boncah Lida. Ada parit gajah yang membatasi lahannya dengan hutan larangan Kenegerian Kampa tersebut," ujar Cecep.
Selain itu, pihak perkebunan PMKS juga mengklaim selalu berkontribusi terhadap desa atau masyarakat sekitar yang membutuhkan partisipasi pihaknya dalam setiap kegiatan. Demikian pula dengan CSR atau Corporate Social Responsibility, meskipun belum pada seluruh desa yang ada di sekitar.
"Kita selalu terbuka untuk berpartisipasi terhadap kegiatan desa atau masyarakat sekitar, terutama jika ada pengajuan. Demikian pula dengan pembangunan fasilitas sosial yang merupakan bagian dari fasilitas umum," tegas Cecep.
Sebelumnya diberitakan, bahwa Pemerintah Kabupaten Kampar diminta untuk segera turun untuk meninjau kondisi dan situasi Hutan Larangan Adat Kenegerian Kampa, Ghimbo Boncah Lida. Hal ini mengingat kuatnya dugaan bahwa kawasan tersebut berubah atau sebagian diantaranya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Hal itu disampaikan Lukman, Tokoh Masyarakat yang juga merupakan mantan kepala desa di salah satu desa di Kecamatan Kampa, Selasa (11/2/2025).
Menurut Lukman, Ghimbo Boncah Lida merupakan salah satu hutan adat di Kampar yang sudah mendapat pengakuan dengan diterbitnya surat keputusan (SK) dari Pemerintah Pusat pada tahun 2020.
Dikatakan, dengan adanya pengakuan dari Pemerintah Pusat ini, maka masyarakat adat dapat dengan aman mengelola hutan tersebut untuk kesejahteraan ekonomi di lingkungan masyarakat adat tersebut. Dengan catatan hutan adat tersebut tidak boleh dirusak dan ditebang menjadi lahan perkebunan.
“Dengan adanya pengakuan ini maka ini bisa menjadi dasar bagi masyarakat adat untuk melindungi kawasan hutan untuk fungsi ekonomi, sosial dan adat,” kata Lukman.***
Penulis: Ali Akbar, Editor: Isman