Ritual Adat di “Tanah Bedewo” Kerjasama PW AMAN Jambi dan PD AMAN Orang Rimba

Ritual Adat di “Tanah Bedewo” Kerjasama PW AMAN Jambi dan PD AMAN Orang Rimba

[caption id="attachment_32394" align="aligncenter" width="720"] Poto : dokumentasi AMAN Jambi.[/caption]

Jambi - DI wilayah Sungai Serenggam, tepat di Desa Hajran Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari, pada Hari Sabtu tanggal 18 Juni 2022, telah dilaksanakan pelaksanaan kegiatan Ritual Adat Masyarakat Adat Orang Rimba yang dihadiri oleh 5 (lima) Tumenggung, Jenang dan Waris Dori yang ada di Kabupaten Batanghari, serta dengan jumlah partisipan lebih kurang 127 Orang. Demikian disampaikan oleh Datuk Usman Gumanti Ketua BPH AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ) Wilayah Jambi.

“Kegiatan Ritual di Tanah Bedewo merupakah salah satu identitas kehidupan Orang Rimba yang akrab dan tergantung pada lingkungan alam khususnya rimba (hutan), sehingga Orang Rimba menyebut hutan sebagai rumah, dengan mengatakan; “ghimba iyoya ghumah kamia” (rimba adalah rumah kami).

Beliau selanjutnya juga menyatakan bahwa “Ritual Adat" di Tanah Bedewo bertujuan untuk berhubungan langsung dengan para “Dewo”, baik untuk perlindungan komunitas adat Orang Rimba, juga dapat ditujukan untuk pengobatan, perlindungan, proses untuk pernikahan, meminta sesuatu yang Orang Rimba sepakati serta permintaan untuk perlindungan keberlangsungan kehidupan mereka.

Ritual Adat di “ Tanah Bedewo” ini berusaha mendeskripsikan identitas Orang Rimba yang direpresentasekan melalui pesan prosesi Ritual, dan bertujuan untuk menggambarkan identitas kehidupan Orang Rimba masa lalu yang disampaikan melalui pesan prosesi Ritual adat dan menghubungkannya dengan identitas kehidupan Orang Rimba masa kini, dengan demikian didapatkan gambaran perbandingan identitas Orang Rimba masa lalu-masa kini, dan gambaran pergeseran identitas dalam kehidupan Orang Rimba, demikian yang Datuk Usman Gumanti sampaikan.

Mengutip dari berbagai penelitian dan kajian yang dilakukan oleh banyak pihak yang menarasikan bahwa Dewa atau “Dewo” dalam sistem kepercayaan Orang Rimba, dikenal ada delapan dewa, yakni; Dewa Rimau, Dewa Siluman, Dewa Penyakit, Dewa Gajah, Dewa Padi, Dewa Tenggiling, Dewa Madu, dan Dewa Langit.

Para dewa tersebut akan muncul dalam acara besale (acara ritual pernikahan orang rimba). Meskipun kepercayaan terhadap dewa dianut Orang Rimba, namun kekuasaan tertinggi itu adalah tuhan Alah (dilafazkan demikian, bukan lafaz Allah untuk umat Islam, dan bukan pula ditujukan pada Alah penganut Nasrani) yang menguasai seluruh alam, menguasai baik-buruk, sehat-sakit. Tuhan Alah dapat membalas kejahatan dan kebaikan seseorang. Di bawah para dewa, Orang Rimba mengenal makhluk alus (halus) berupa mambang, peri, setan dan makhluk aluiy (halus) lainnya yang sejenis dengan itu.

Dari prosesi ritual adat ini maka lapisan kekuasan yang gaib dalam sistem kepercayaan Orang Rimba dapat dibuat dalam bagan kosmos berikut; Kekuasaan tuhan Alah bagi Orang Rimba terdapat dalam mantera sialang (mantera untuk mengambil madu lebah) yang di antara kalimat mantera tersebut menyebutkan kalimat Salamikum, bismilahirahmanirrahim, Alah, cuplikan mantera tersebut adalah sebagai berikut:

"Salaaamikuuum dan jambaang Oo....hooii...dan jambang bagi kulalu.............. Bismilahirahmanirahima, Bismilahirahmanirahima Ditemeruk semerayo datang api............... Dikampung sialang punya aku Kebul kata Alah setajab tibo diaku Penghormatan yang sangat mendalam kepada nenek moyang ini, dapat dipahami dari pernyataan berikut:

Kami hormat podo nenek puyang, kami nyobutnye toshi di makon, koncing diminum segelonye ndok dolakoko sebagai ghaso hormat podo nenek puyang."

Menghormati nenek moyang, dan menyebutnya seperti ini; kotoran dimakan kencingpun akan diminum [ungkapan hormat yang mendalam], semua itu sanggup dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang.

Ada satu Seloko Orang Rimba yang menceritakan keadaan hutan sebagai kehidupan Orang Rimba masa lalu dan masa akan datang:

"Layang la....yang sudahlah untung//Manganang nasib e....la malang badan//Sampai meni....tik di ayek mato//Mengenang ghimbo yang sudah habiy//e.....kemano.... lagi anak cucung//kan bakal hidup, mencaghi hidup//e....kalu ghimbo....la....h habiy"

Dari teks Seloko di atas, akan tampak pesan yang ingin disampaikan adalah membedakan kondisi rimba masa lalu dan masa sekarang, kata “mengenang ghimbo yang sudah habiy” dapat dipahami bahwa hutan rimba dulunya banyak dan lebat, namun kondisi saat ini rimba telah habis.

Berkurangnya hutan rimba ini mengkhawatirkan kehidupan generasi Orang Rimba, “kemano lagi anak cucung kan bakal hidup, mencaghi hidup, e.... kalu ghimbo la....h habiy.” (rilis)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index