Oleh Chaidir (Ketum FKPMR)
TAHUN 1445 Hijriyah tenggelam dalam tidurnya yang abadi. Selamanya akan berada dalam bilik sejarah dalam suka dan duka, tak ada lagi kesempatan kembali. Waktu senantiasa mengepakkan sayap tak pernah menunggu barang sejenak, walau hanya untuk sekedar menunda senja. Mungkin terlalu didramatisasi. Tapi begitulah politik waktu. Bila tak dimanfaatkan, dia akan berlalu tanpa ucapan sayonara. Siapa yang bermain-main dengan waktu akan digulung waktu.Umat Islam di seluruh dunia merayakan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1446 bertepatan dengan 7 Juli 2024 Masehi. Setiap merayakan tahun baru, entah Hijriyah atau Masehi, kita selalu melakukan kontemplasi, evaluasi, perenungan, apa yang telah kita perbuat di tahun sebelumnya; baik, buruk? Kemudian menatap masa depan.
Tapi bagi umat Islam khususnya di Indonesia, tahun 1446 H memiliki makna tersendiri. Tahun ini tahun politik. Seluruh umat Islam yang telah memiliki hak pilih akan menggunakan hak pilihnya dalam pilkada serentak tahun 2024 ini. Tahun ini kita akan memilih pemimpin, gubernur, bupati atau walikota. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang paham; memiliki kapabilitas, kapasitas, kredibilitas dan integritas; orang baik dan orang baik-baik, bila berkata tidak bohong; bila berjanji tidak ingkar; bila diberi amanah tidak berkhianat.
Dalam pusaran Pilkada Serentak Tahun 2024 ini, umat Islam diberi ultimatum: menegakkan politik Islam atau membiarkan diri masuk dalam perangkap Islam politik? Guru Besar Islam dan Politik, UIN Sunan Kalijaga, Prof Noorhaidi Hasan, menyebut dua spektrum politik dalam sudut pandang Islam, pertama, Islam politik yang memanfaatkan simbol-simbol Islam dalam upaya meraih tujuan yang kerap bersifat manipulatif. “Termasuk di dalamnya radikalisme, ekstrimisme dan terorisme yang menghalalkan kekerasan untuk tujuan politik,” dan kedua, politik Islam yang berlandaskan pesan-pesan dasar ajaran Islam dan bertujuan mewujudkan pesan-pesan tersebut demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bersama, termasuk di sini segala ikhtiar untuk memengaruhi decision making sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah benar-benar untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.” Singkat kata, politik Islam menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin untuk masyarakat semuanya, sementara Islam politik mengedepankan simbol-simbol untuk meraih kemenangan jangka pendek dengan segala cara.
Tidak jarang kita temukan, pemimpin yang terpilih secara demokratis, setelah terpilih ternyata musang berbulu ayam, pagar makan tanaman. Ia menjadi penguasa bukan pemimpin. Ia memanfaatkan dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Siapa yang salah sebenarnya? Pemilih juga salah, karena tidak arif dan bijak dalam memilih, tidak mempelajari rekam jejak sang calon. Pemilih disilaukan mata hatinya oleh janji yang muluk-muluk, bahkan silau matanya (maaf) karena politik uang. Masyarakat kehilangan akalbudinya. Hati dalam konsep abstrak adalah tempat bersemayam akalbudi. Perasaan batin yang ada dalam hati sebagai konsep abstrak itu, adalah sesuatu yang tersembunyi, gaib, tak kelihatan. Bukankah kita mengenal istilah baik hati, elok hati, putih hati, lurus hati, dan lain-lain yang bermakna baik?
Sayangnya akalbudi dalam kalbu manusia itu bisa berubah-ubah. Hati dalam konsep abstrak itu bisa dirusak banyak hal. Perusak akal budi itu oleh Richard Brodie disebut virus akalbudi (1996), yakni segala gagasan, pemikiran, konsep, dan ideologi yang berebut tempat dalam pikiran manusia, dan menularkannya. Virus akalbudi bekerja secara diam-diam menguasai sedikit demi sedikit akalbudi alias akal sehat manusia dan menyeretnya ke berbagai arah tak menentu. Virus akalbudi seringkali berhasil memprovokasi manusia untuk merasionalisasikan dorongan primitifnya. Membuat hal-hal yang tak benar seperti masuk akal. Virus akalbudi membuat orang kehilangan fitrahnya sebagai orang baik-baik. Wujudnya? Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.
Lantas? Mengawali Tahun Baru 1446 H apatah lagi dalam tahun politik ini, mari kita lawan virus akal budi itu dengan segala ikhtiar, terus membaca dan membaca untuk meningkatkan kapasitas literasi, yang memungkinkan kita memiliki kemampuan memilah-milah berbagai macam informasi dan menghindar dari dorongan nafsu duniawi yang berlebihan. Kapasitas berpikir menurut akal sehat, akan mengembalikan manusia ke fitrahnya sebagai orang baik-baik, kembali ke pangkal jalan.
Tahun 1445 H yang sarat dengan ambiguitas itu telah kita lalui dan telah memasuki bilik sejarah. "Oblivione sempiterna delendam", kata filsuf Cicero. Biar-lah masa lalu yang kelam itu tenggelam dalam tidur-nya yang abadi. Kita tatap Tahun 1446 H dengan penuh semangat. Never give up – jangan pernah menyerah.***