NEW YORK - Beberapa orang yang pernah terkena COVID-19 mengalami gejala yang menetap untuk waktu yang lama, atau disebut sebagai kondisi 'Long COVID'. Gejala yang berkepanjangan tersebut bisa berupa gangguan indera perasa dan penciuman, kabut otak, hingga pada risiko yang lebih parah, yakni stroke.
Sebuah RS penelitian di kota New York, NYU Langone Health, mencoba memahami bagaimana virus mempengaruhi otak dan sistem saraf. Dalam beberapa tahun, proyek tersebut berubah dari yang hanya berfokus pada gejala akut menjadi juga melacak masalah neurologis jangka panjang yang dialami beberapa orang dengan Long COVID.
Direktur program dr Sharon Meropol menjelaskan, daftar masalah neurokognitif yang harus dilacak oleh tim Meropol mencakup penurunan kognitif, perubahan ukuran dan struktur otak, depresi dan pemikiran bunuh diri, tremor, kejang, kehilangan ingatan, dan demensia baru atau yang memburuk berkaitan dengan virus Corona. Dalam beberapa kasus, masalah jangka panjang ini terjadi bahkan pada pasien dengan COVID-19 yang relatif ringan.
Direktur klinis dari National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), dr Avindra Nath, menjelaskan orang yang terkena infeksi tertentu seperti rabies, akan memiliki 'bercak' virus berkerumun di mana-mana.
Perihal virus SARS-CoV-2, Nath dan rekannya memindai dan menganalisis secara fisik otak 13 orang yang meninggal akibat COVID-19. Mereka tidak menemukan virus SARS-CoV-2 di otak, namun mereka menemukan kerusakan yang signifikan pada pembuluh darah yang dilapisi dengan antibodi. Menurut Nath, sistem kekebalan tubuh menjadi rusak sebagai respons terhadap virus, menyebabkannya menyerang pembuluh darahnya sendiri dan memicu serangkaian efek yang menyebabkan peradangan signifikan di otak.
"Pada orang yang selamat dari COVID-19, peradangan otak juga dapat menyebabkan gejala selama bertahun-tahun seperti kabut otak dan kehilangan ingatan (meskipun) kami tidak tahu pasti," kata Nath, saat dilansir dari Times, Selasa (18/7/2023).
Namun bagi Nath, temuan ini masih merupakan pertanyaan terbuka, dan perlu diteliti lebih lanjut. Timnya terus mempelajari otak pasien COVID-19 dan belum menemukan bukti nyata adanya virus SARS-CoV-2 di organ tersebut.***