Memori 2 September

Memori 2 September

Oleh Chaidir

HARI ini, 2 September 2025. Empatpuluh tahun silam, sebuah peristiwa istimewa yang menggemparkan perpolitikan Tanah Air terjadi di Riau. Dalam gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia, khususnya dalam dinamika dan romantika politik lokal, Provinsi Riau menoreh sebuah peristiwa yang akan tercatat sepanjang masa. 

Seluruh media cetak nasional dan lokal di Tanah Air memuat peristiwa tersebut secara spektakuler. Beberapa media asing juga ikut menyoroti kasus itu. Sayangnya ketika itu Indonesia masih berada dalam era media konvensional (koran cetak, majalah dan media elektronik televisi dan radio), belum memasuki era internet; bila media berbasis internet sudah maju dan terbuka seperti sekarang, peristiwa tersebut pasti viral sejadi-jadinya. 

Tanggal 2 September 1985 adalah hari berlangsungnya pemilihan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau, sebuah peristiwa politik yang sangat penting di daerah. Saat itu 40 orang anggota DPRD Tk I Riau (Golkar 25 kursi, PPP 8 kursi, PDI - sekarang PDIP 1 kursi, dan Fraksi ABRI 6 kursi) memilih Gubernur Riau untuk periode 1985–1990. Ada tiga calon gubernur yang disetujui pusat dan disodorkan kepada DPRD Riau untuk dipilih, yakni Mayjen TNI (Purn) Imam Munandar – calon petahana dan didukung pemerintah pusat, Drs. H. Ismail Suko – birokrat karier dan Tokoh Riau, calon pendamping, dan H. Abdul Rachman Hamid – Tokoh Riau, calon pendamping. Di atas kertas, dalam logika politik pemerintahan sentralistik pada masa itu, peluang Imam Munandar sangat besar untuk terpilih kembali sebagai Gubernur Riau periode 1985-1990. 

Sistem pemilihan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di era Orde Baru ketika itu, dipilih oleh DPRD Provinsi; dan pemerintah pusat cq Presiden Soeharto dalam sistem pemerintahan yang sentralistis sebagai Ketua Dewa Pembina Golkar dan tokoh sentral selama rezim Orde Baru, sangat berkuasa menentukan siapa calon yang harus dipilih oleh DPRD. Calon yang disetujui oleh pusat memang tiga orang, tetapi calon unggulan titipan presidenlah yang harus dipilih dan dimenangkan, dua lainnya hanya pendamping formalitas. Dan pemilihan kepala daerah itu sendiri oleh DPRD di seluruh Indonesia, juga hanya formalitas belaka. Para pakar politik pasti memahami, dalam perspektif demokrasi, sistem pemilihan kepala daerah seperti gaya Orde Baru ini sebenarnya bertentangan dengan sistem demokratisasi yang mewabah di seluruh dunia ketika itu. Seringkali terdapat “gap” yang menganga lebar antara asprasi rakyat dengan pengambil kebijakan di pusat pemerintahan, apalagi dalam pemilihan kepala daerah. Sering terjadi calon unggulan kepala daerah yang didukung rezim yang berkuasa, tak sejalan dengan kehendak rakyat di daerah.

Tanpa diduga, pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 yang berlangsung di Gedung Lancang Kuning DPRD Riau (sekarang gedung Perpustakaan Soeman Hs) hasilnya sangat mengejutkan, di luar perhitungan.  Hasil pemungutan suara menunjukkan (dalam pemungutan suara, setiap anggota DPRD punya hak satu suara yang diberikan secara bebas tertutup di bilik suara): Drs. H Ismail Suko memperoleh 19 suara, Mayjen TNI (Purn) Imam Munandar memperoleh 17 suara, dan H. Abdul Rachman Hamid memperoleh 1 suara. Hasil pemungutan suara ini sangat menggemparkan karena calon petahana Mayjen TNI (Purn) Imam Munandar yang didukung kuat pemerintah pusat (Golkar dan rezim Orde Baru) justru kalah suara dari Drs H. Ismail Suko, sang calon pendamping yang tidak diunggulkan. Seorang calon lainnya yaitu Abdul Rachman Hamid mengantongi 1 suara. 

Peristiwa pilgub Riau ini mencengangkan dan menjadi pembicaraan hangat dimana-mana, di kalangan politisi, unsur pemerintah, perguruan tinggi dan menjadi perdebatan pengamat sosial. Bukan saja di tingkat daerah tetapi meluas keseluruh Indonesia. Nama Ismail Suko dan keberanian anggota DPRD Riau yang berjibaku ‘pasang badan’ menjadi kontroversi dan pembicaraan hangat dimana-mana. Sebenarnya anggota DPRD Riau sudah menyampaikan aspirasi penolakan mereka terhadap Imam Munandar secara tertutup kepada Presiden Soeharto, tapi aspirasi tersebut diabaikan.  

Apa yang terjadi pasca pemilihan sudah diperkirakan, pemerintah pusat dengan “coersive power” pasti menggunakan jurus-jurus untuk menganulir hasil pemilihan; dan pada eranya, sesuai iklim politik ketika itu, semudah membalik telapak tangan bagi pusat untuk melaksanakan kehendaknya. Ismail Suko akhirnya dipanggil ke Jakarta, dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Maka, posisi gubernur tetap dijabat kembali oleh Imam Munandar. 

Tak masalah. De facto Mayjen TNI (Purn) Imam Munandar boleh dilantik sebagai Gubernur Riau periode 1985-1990, tapi hasil pemilihan tak bisa diubah, Drs. H. Ismail Suko adalah pemenangnya. Banyak pengamat politik di Tanah Air menyebut kemenangan Ismail Suko dianggap sebagai “pemberontakan” terhadap politik rezim Orde Baru. Peristiwa 2 September 1985 ini mengandung pesan tersirat sebagai bentuk perlawanan daerah terhadap pemerintah pusat pada masa itu. Riau dengan gagah berani mengawali gerakan demokratisasi di Indonesia dan berkirim pesan penting kepada daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. 

Menariknya, tak ada konflik di daerah pasca peristiwa 2 September, tak ada huru-hara setelah pelantikan Imam Munandar. Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah pusat harus introspeksi, tak perlu “baper” terhadap aspirasi masyarakat Riau. Sejarah mencatat masyarakat Melayu Riau tak menggunakan pedang dalam berjuang, tapi menggunakan kalam yang tertuang dalam syair, prosa, pantun, dan puisi. Tapi orang Melayu Riau juga terkenal keras hati, “keras batu lebih keras lagi hati”. “Sekali layar terkembang, surut ia berpantang”. “Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.” ***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM: Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

#Opini drh. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index